Birahi Jalang
Kerja Usaha
Beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan calon suamiku, seorang dokter muda yang sedang naik daun. Ketika ia mulai mengunjungi rumahku dan rupanya mulai menunjukkan minatnya terhadapku, kedua orang tuaku menunjukkan rasa senangnya. Maklumlah siapa yang tidak mau punya menantu seorang dokter. Apalagi Mas Heru adalah dokter yang sedang mulai naik daun di kota kediamanku.
Dibandingkan pacar-pacarku dulu, di antaranya ada yang pegawai bank, dosen dan pengusaha, kedua orang tuaku paling bersikap mendukung terhadap dokter muda ini. Apalagi kelihatannya Mas Heru cukup serius, dalam arti bukan hanya sekedar ingin berkawan. Sebagai anak yang ingin berbakti terhadap orang-tua tentunya aku harus mau mengikuti apa yang mereka anggap baik untuk kehidupan dan masa depanku.
Walaupun sebetulnya aku tidak terlalu tertarik kepada Mas Heru. Untukku dia orangnya terlalu serius, dan selalu berbicara tentang pekerjaannya. Seolah-olah tidak ada hal lain dalam kehidupan ini yang menarik hatinya. Sudah kubayangkan bagaimana akan membosankannya kehidupanku sebagai istrinya. Apalagi sebetulnya aku termasuk orang yang popular sebagai kembang sekolahku. Rasanya kalaupun mau mencari suami seorang dokter kalau bisa jangan yang seperti Mas Heru. Tapi apa boleh buat, ternyata tidak selamanya manusia dapat bebas memegang kendali hidupnya.
Ketika Mas Heru datang di dampingi kedua orang tuanya, lalu ayahku menanyakan kesediaanku untuk dilamar Mas Heru, pada waktu itu rasanya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Pesta pernikahanku memang cukup meriah, terutama untuk ukuran kota kecilku. Tidak lama setelah itu Mas Heru, yang telah dipindah-tugaskan ke kota Bandung, memboyongku ke tempat kediamanku yang baru.
Benar saja ternyata tepat apa seperti apa yang telah kuperkirakan. Di kota Bandung aku kesepian dan segera merasa jenuh. Teman-temanku belum banyak, sedangkan Mas Heru terlalu larut dalam tugas-tugasnya. Nikmatnya kehidupan perkawinan, seperti yang pernah digambarkan kakak-kakakku, ternyata tidak kualami. Bukan hanya secara sosial lingkungan Mas Heru terasa begitu membosankan, kehidupan seksualku dengannya juga terasa hambar. Hampir saja aku menelepon mantan pacarku, seorang pegawai bank yang kebetulan juga dipindah ke kota Bandung. Walaupun dengannya dulu aku tidak pernah sampai berani berhubunagan seks, tapi sebatas hubungan oral yang pernah kami lakukan rasanya jauh lebih hebat daripada yang kualami sekarang. Tapi untunglah aku sanggup menahan diri. Rasanya kemana gengsi dan martabatku kalau harus mencari-carinya, padahal dulu lamarannya ditolak orang-tuaku
Penjaga Kantor
Dalam keadaan hampir tidak tahan lagi, seorang wakil perusahaan farmasi, yang kebetulan menjadi relasi suamiku, datang mengunjungiku. Dimintanya kesediaanku untuk menjadi agen penyalur obat-obatan produksi perusahaannya. Katanya menurut pengamatannya, aku orangnya supel, lincah dan cantik, bahkan kelihatannya mempunyai bakat untuk meyakinkan orang lain dengan mudah. Sangat berbeda, katanya lagi, dibandingkan dengan suamiku. Dengan training dan dukungan teknis perusahaannya, aku akan mampu mengembangkan usaha sebagai penyalur obat-obatan.
Karena tertarik kuminta ijin suamiku. Pada mulanya ia nampak keberatan, karena takut ada konflik kepentingan dengan profesinya sebagai dokter. Tetapi setelah kurayu terus-menerus akhirnya Mas Heru setuju juga. Katanya aku boleh mencoba usaha baru ini, dengan syarat tidak memasarkan obat-obatan yang kuageni di kota Bandung. Berarti dengan demikian aku harus mau melakukan kegiatan-kegiatan marketing ku di kota-kota lainnya, walaupun masih di sekitar Bandung juga.
Setelah membuat kalkulasi yang cukup mendalam, aku putuskan untuk mulai melangkah. Kusewa sebuah ruko agak besar di Jalan Soekarno-Hatta, supaya dapat dijadikan kantor sekaligus gudang. Dengan bantuan relasi pabrik obat yang kuageni aku mulai menata usahaku. Terpaksa aku sendiri yang harus melakukan perjalanan-perjalan untuk pemasaran, malah kadang-kadang sampai berhari-hari.
Tanpa diduga hanya dalam tempo enam bulan kegiatanku sudah menampakkan tanda-tanda keberhasilannya. Dengan keadaan yang semakin berkembang bertambah pula karyawanku, termasuk untuk bidang pemasarannya. Tapi beberapa pelanggan yang telah kubina sejak awal, termasuk di antaranya beberapa rumah sakit dan apotik ternama, tetap kutangani sendiri. Karena itulah walaupun usahaku kelak semakin maju, aku sendiri tetap melakukan perjalanan-perjalanan yang cukup melelahkan, dalam rangka memelihara hubungan dengan pelanggan-pelanggan lamaku.
Di kantorku pegawai yang paling tua bernama Pak Solichin, dan sebagai penghargaan sering kupanggil mang Ihin. Barangkali karena dia sendiri merasa akrab denganku dipanggilnya aku Neng Yasmin, atau kadang-kadang Neng Mimien. Tanpa kuduga ternyata sebutan untukku ini akhirnya menjadi populer di antara karyawan-karyawanku. Mereka resminya tetap menyebutku Bu Yasmin atau Bu Heru, tapi tidak jarang juga Neng Mien atau Neng Mimien. Karena aku masih muda, dengan usia yang tidak terlalu jauh berbeda dari pegawai-pegawaiku, kubiarkan saja mereka menggunakan sebutan akrab ini.
Di antara karyawanku ada seorang pemuda bernama Adli. Ia masih muda, tetapi sudah berkeluarga dengan satu orang anak. Orangnya hitam manis, gagah dan tampan, tetapi lugu sekali. Kelihatannya pendidikannya tidak terlalu tinggi. Barangkali malah tidak sampai tamat SD atau SMP. Walaupun demikian kesetiaannya sangat bisa diandalkan, bahkan caranya membela apa yang dianggapnya sebagai kepentinganku sangat fanatik. Dia mulai bekerja di tempatku sebagai penjaga malam, alias satpam, dan ternyata sangat baik menjalankan tugasnya. Karena dia juga pandai ilmu-ilmu bela diri, seperti silat dan sebagainya, beberapa stafku mengusulkan supaya dia menjadi pengawalku. Khususnya dalam perjalanan-perjalananku keluar kota. Apalagi akhir-akhir ini keadaan di wilayah sekitar Bandung dirasa kurang aman.
Jadi mulailah Adli ikut mendampingiku keluar kota. Ternyata pengaturan ini sangat memuaskanku, karena orangnya lucu dan jenaka. Sering-kali aku merasa terhibur dengan lelucon-lelucon ataupun gayanya yang kocak. Di samping itu ada lagi kelebihannya, sebagai seorang jago silat Adli juga pandai mengurut dan memijat. Maka bukan sekali dua-kali aku sempat memanfaatkan kebolehannya ini.
Pada suatu hari aku harus melakukan kunjungan ke kota-kota Sumedang, Kuningan dan Cirebon. Endah, seorang tenaga pemasaran yang biasa mendampingiku, kali ini tidak bisa ikut bersamaku. Kebetulan orang-tuanya jatuh sakit. Karena Mas Heru tidak keberatan pergilah aku dengan supirku, tentunya di kawal juga oleh Adli. Aku meninggalkan kota Bandung dengan perasaan enteng saja. Tidak terbayang bahwa nantinya akan terjadi sesuatu yang akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupanku.
Tidur Bersama
Semua urusanku di Sumedang berjalan lancar, bahkan mungkin lebih banyak waktu yang kugunakan ngobrol dengan langganan-langgananku daripada betul-betul menangani masalah bisnisnya. Seusai untuk malam pertama ini kami menginap di Sumedang. Kupilih kamar yang baik dan bersih untukku, lalu aku mandi menyegarkan diriku. Ketika mencoba untuk tidur ternyata aku tidak merasa mengantuk sama-sekali. Sulit sekali bagiku untuk memicingkan mataku. Akhirnya daripada kesal sendirian kusuruh Adli datang ke kamarku. Akan kuminta dia memijatku, sambil aku nanti mendengarkan cerita-ceritanya yang jenaka.
"Ada apa neng?" tanya Adli sambil memasuki kamarku.
Kuminta Adli memijat punggungku. Sebagai karyawan yang setia ia mau saja. Setelah beberapa saat kuminta ia menduduki pantatku, maksudnya supaya tekanan pijatannya lebih terasa. Santai saja kubiarkan ia mengurut dan memijati punggungku yang agak terbuka, karena jenis daster yang kukenakan memang seperti itu.
"Neng, panas yah! Saya sampai keringetan!"
Dengan lugunya Adli mengeluh kepadaku. Santai saja kutanggapi kata-katanya,
"Ya buka aja kaosnya!"
Setengah geli dan juga kesal aku melihat dia langsung membuka kaosnya dengan tanpa ragu sedikitpun. Lalu kembali dia memijati punggungku. Tidak berapa lama kemudian terdengar Adli berbicara lagi,
"Neng.. Neng Mimien, maaf ya Neng, kalau ada yang mengganggu."
Polos betul anak muda ini. Begitu sopan dan lugu, tapi juga gagah pembawaannya.
Memang aku sendiri merasakan ada yang sesuatu mengganjal di atas pantatku.
"Kenapa sih memangnya?"
Tanyaku dengan maksud mau mengganggunya. Jawabannya yang polos membuatku geli, tapi juga terangsang. Dengan sangat lugu dia menerangkan,
"Iya Neng, sudah seminggu belum kesampean.. eh.. gituan."
Kutanya lagi, "Kok bisa?"
"Iya habis kan sudah tiga hari ini sibuk di kantor, habis itu diminta nganterin Neng keliling." Lalu sambungnya lagi,
"Padahal sebelum berangkat istri saya lagi.. itu tuh Neng.. datang bulan."
Karena kepingin tahu kutanya terus,
"Jadi gimana dong?"
Keluguan dan kepolosannya semakin terlihat sewaktu dia menjawab.
"Yah pusing saja.. Apalagi ngeliat punggung Neng Mimien kenceng begini, kayak istri saya saja.., bedanya neng lebih putih aja."
Agak menahan tawa kuanjurkan padanya,
"Yah kalau pusing dilepas aja pakai tangan di kamar mandi sana."
Usulanku ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh Adli.
"Iya yah Neng, bener juga, kalau gitu ditinggal sebentar ya Neng."
Adli berdiri lalu melangkah kearah kamar mandi. Seakan-akan tanpa beban apapun ditinggalnya aku sendiri begitu saja. Masih terlihat olehku tubuhnya yang ramping, kekar dan berotot itu. Tanpa sadar kutelan ludah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di kerongkonganku.
Karena bosan dan juga ingin tahu, kalaupun belum karena dorongan gairah, kususul Adli ke kamar mandi. Karena tidak terkunci pelan-pelan kubuka pintunya dan akupun masuk dengan rasa penasaran. Adli tidak menyadari kehadiranku di dekatnya. Terlihat dia sedang berdiri menyandar pada bak mandi. Tubuhnya dalam keadaan telanjang, karena tadi baju kaosnya sudah kusuruh lepas waktu sedang memijatiku. Walaupun kulitnya agak gelap, secara keseluruhan dia terlihat gagah. Celana pendeknya masih menggantung di pahanya, karena rupanya hanya dilorot sebagian.
Terlihat matanya terpejam menikmati apa yang sedang dilakukannya. Dari gerakan pada lengannya kutahu dia sedang mengocok barang kepunyaannya. Segera kutujukan mataku ke arah selangkangannya. Apa yang kulihat saat itu membuatku kagum, dan juga nafasku sesak tersengal. Tangan Adli sedang menggenggam alat kejantanannya, yang kelihatan besar dan panjang sekali. Sangat berbeda dengan kepunyaan Mas Heru yang ukurannya sedang-sedang saja. Ujung kepala kemaluannya bulat, keras dan mengkilat. Seperti orangnya warnanya juga cokelat tua agak kehitam-hitaman.
Adli masih terus mengocok-ngocok barang kepunyaannya yang mengagumkan itu. Karena matanya terpejam dia tidak menyadari bahwa aku telah semakin dekat dengannya. Aku juga terbawa untuk memejamkan mataku. Terbayangkan olehku hal yang tidak-tidak yang juga membuatku terangsang. Kurasa sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sekali lagi aku sampai menelan ludah. Lalu kuberanikan diriku dan menyapanya,
"Adli! Besar amat sih itu-nya?"
Adli terlihat sangat terkejut. Tersipu-sipu ia berkata,
"Aduh Neng, kok ada di sini.. Aduh maaf Neng!"
Segera kutenangkan dia, "Nggak apa-apa, nggak apa-apa kok."
Lalu sambil mengulurkan tanganku ke arah tonggak kejantanan Adli aku berkata,
"Coba lihat dong! Ukurannya kok sampai sebesar ini sih?"
Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga tonggak kejantanan yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang sudah hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang menikmati kejantanan Adli kudengar dia bertanya,
"Neng seneng ya sama ITU-nya Adli."
Kujawab singkat, "Iya dong, seneng sekali."
Rasa penasaran rupanya mendorongnya bertanya lagi,
"Kalau sama yang dulu-dulu."
Pertanyaannya membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya,
"Senengan yang ini."
Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku,
"Kenapa?"
Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia,
"Ini yang paling hebat, paling besar, paling kuat.. pokoknya.. paling jagonlah."
Adli tersenyum bangga. Lalu pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari batang kemaluannya.
"Iya deh, sekarang Adli mau mandi dulu ya,' katanya meminta diri.
Sejenak aku merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan ditolak, atau malah dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Adli pergi, biarpun hanya untuk ke kamar mandi.
Malu-malu dia berusaha menghindar, tapi terpegang juga olehku barang kepunyaannya. Lucunya setelah terpegang dia tidak terus berontak, malah dibiarkannya aku mengusap-usap alat kejantanannya itu. Setelah aku usap-usap Adli terlihat sudah mulai mampu menguasai diri lagi. Malah rupanya keberaniannya timbul kembali. Dengan gaya lugunya dia bertanya,
"Emangnya besar ya Neng punya Adli?"
Aku mengangguk mengiyakan. Hampir tertawa aku ketika Adli menanyakan,
"Tapi istri saya kok nggak pernah bilang apa-apa yah?"
Kujawab saja sekenanya,
"Wah dia nggak ngerti suaminya punya barang hebat.. Eh ngomong-ngomong mau diterusin nggak?" Dengan manis dan lugu Adli mengangguk,
"Kalau nggak diterusin entar pusing Neng."
Tidak mampu menahan diri lagi langsung kutawarkan padanya,
"Mau saya bantuin nggak?"
Terlongo Adli memandangku dan bertanya,
"Emangnya Eneng mau?"
Sambil tersenyum genit aku berkata kepadanya,
"Kalau untuk kamu mau dong.. tapi jangan di sini ya, di kamar aja yuk!"
Kutarik tangan Adli dan menuntunnya kembali ke kamar tidur. Kuarahkan supaya ia duduk membujur di atas ranjang, lalu aku menelungkup di hadapannya. Kedua tanganku mulai mengusap-usap batang kejantanan Adli. Ukurannya memang luar biasa. Tadi dalam keadaan Adli berdiri, kalau batangnya ditegakkan sepertinya panjangnya sampai ke pusarnya. Sekarang dalam keadaan dia duduk panjangnya jelas meliwati pusarnya itu.
"Aduh Neng, geli banget!" Erang Adli.
Kedua lengannya mengencang menyangga tubuhnya, sampai terlihat otot-ototnya menonjol gagah. "Adli! Adli! Besar amat ya kepunyaan kamu ini, katanya orang Arab yang itunya gede-gede begini," demikian aku membuatnya bertambah semangat.
Ternyata Adli mengiyakan sinyalemen ini dengan menerangkan,
"Iya Neng, kakek saya dari pihak ibu memang keturunan Arab."
Pantaslah kalau begitu. Beberapa saat hening tanpa ada suara, sementara aku terus mengocok-ngocok lembut barang kepunyaan Adli.
Sampai akhirnya terdengar lagi Adli bertanya,
"Neng, katanya kalau orang bule seneng ngemutin pake mulut yah Neng?"
Pertanyaan ini kurasa semakin menjurus dan membuatku terusik oleh keinginan terpendam yang ada di hatiku. Dengan singkat kujelaskan padanya,
"Ah bukan orang bule aja, orang Indonesia juga ada."
Setelah terdiam sejenak pertanyaan berikutnya membuat gairahku semakin tergugah.
"Kalau Neng Mimien gimana?"
Walau dengan nada ragu-ragu berani juga dia menanyakannya. Akupun mengaku terus terang,
"Yah saya sih dari dulu juga suka."
Sejenak lagi Adli terdiam lalu terang-terangan bertanya,
"Sama punya Adli mau nggak Neng?"
Aku melepas nafas lega, rupanya akan terjadi juga hal tidak-tidak yang dari tadi terbayang olehku.
Tapi aku tidak mau terburu-buru, aku masih ingin mempermainkannya dulu. Dengan mimik serius kujelaskan padanya,
"Wah kalau itu sih harus dilamar dulu!"
Rupanya tertarik Adli bertanya mengejar,
"Maksudnya dilamar gimana Neng?"
Masih tetap serius kupertegas lebih jauh lagi,
"Ya ngelamar anak orang kan biasanya ada syaratnya."
Wajah Adli terlihat agak kecewa,
"Yah kalau pake Mas kawin mah Adli nggak punya."
Tidak ingin terlalu lama berjual mahal langsung kujelaskan padanya,
"Maksudnya bukan begitu, syarat sebagai laki-laki ya ITU-nya bisa bangun, besar, panjang, keras sama kuat."
Kembali Adli nampak bersemangat,
"Oh kalau itu sih Adli mampu.. Bersedia nggak Neng dilamar Adli?"
Aku membisikkan kesediaanku. Lalu Adli berkata dengan penuh keseriusan,
"Neng, bersama ini Adli nyatakan bahwa Adli ngelamar Neng Mimien alias Neng Yasmin dan mampu memenuhi syarat yang diminta tadi.."
Kujawab kata-katanya itu, "Dengan ikhlas saya bersedia menerima lamarannya Adli dan berjanji untuk memuaskan kemauannya."
Walaupun aku sebetulnya bercanda, tetapi semua kulakukan dengan penuh keseriusan. Begitu pula Adli menanggapinya dengan cara yang serius juga.
Sambil tersenyum lega Adli bertanya,
"Terus gimana Neng?"
Aku juga tersenyum dan menjawab, "Terus saya cium."
Dengan bersemangat Adli memyambutnya,
"Aduh mau Neng, ayo dong!"
Pada saat bibirku mendarat di atas kepala kemaluannya dan mengecupnya Adli mendesah,
"Aduh geli Neng, enak."
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat dengan lidahku, ia betul-betul merasakan nikmatnya. Tubuhnya mengejang keras.
"Aduh Neng geli sekali."
Begitu kumasukkan ujung kemaluannya yang seperti topi baja itu ke mulutku, lalu mulai aku kulum, Adli mengerang panjang. Karena keenakan dia sampai menekan kepalaku ke bawah. Dipenuhi oleh kejantanan lelaki yang sebesar itu aku sampai sulit bernafas. Untung aku sudah cukup berpengalaman dalam hal seks oral, sehingga dengan mudah aku bisa menyesuaikan gerakan bibir, lidah dan mulutku.
Ketika ujung tongkat kejantanannya menyentuh langit-langit mulutku, aku merasakan lonjakan gairah yang membawa nikmat. Sayang sementara sedang menikmati itu semua, masih kudengar juga Adli bertanya lagi.
"Neng hanya ini aja apa boleh lebih Neng?"
Terpaksa aku menjawab dulu, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan. Kuusahakan supaya Adli bisa menerima keteranganku dengan baik.
"Sebatas ini aja ya, soalnya baik Adli maupun saya kan udah berkeluarga.. Lagi pula kalau meliwati batas ini kita kan jadinya melanggar perintah agama.. Iya kan Adli?"
Tersenyum puas Adli memandangku,
"Iya juga ya Neng, sampai sekarang Adli belom pernah melanggar perintah agama.. Terima kasih ya Neng, begini aja Adli udah puas sekali kok."
Manis sekali anak ini, akupun jadi semakin menyukainya. Langsung kuperhebat emutanku, sampai aku sendiri semakin terangsang. Sewaktu aku sudah mulai hanyut, ternyata masih juga kudengar permintaan Adli.
"Neng..," panggilnya, "Neng Mimien."
Agak kesal aku menjawabnya, "Iya kenapa? Ada apa?"
Rupanya Adli tidak tahu bahwa aku merasa kesal. Terbukti dia masih memintaku,
"Neng, sambil diemutin, dijilatin juga Neng, enak kan kalau sembari dijilatin.."
Kupenuhi permintaannya, walaupun aku merasa agak jengkel. Berani betul anak muda ini menyuruh-nyuruh aku. Untung suasana batinku tidak sampai terganggu, sehingga aku dapat mencapai orgasmeku. Karena sudah terangsang dari tadi, terutama setelah mulai mengemut alat kejantanan Adli, beberapa usapan saja sudah cukup untuk membawaku ke puncak rasa jasmaniku. Aku mengaduh, merintih dan mengerang sambil terus menjilati barang kepunyaan Adli. Laki-laki itu sampai melihati aku dengan pandangan agak heran. Tapi tidak kuperdulikan lagi dirinya. Terus aku emuti daging keras Adli di mulutku, sampai gelora rasaku mereda.
Setelah itu yang aku sadar adalah betapa pegalnya rahang mulutku, karena dari tadi mengemuti kepunyaan Adli dengan tanpa henti. Sedikit-sedikit mulai ada rasa jengkel juga karena daya tahan kejantanan lelaki itu kuat sekali. Hampir aku sentak dia ketika sekali lagi kudengar suaranya berbicara kepadaku.
"Neng..," katanya, "Neng."
"Aduh Adli, ada apa lagi sih?"
Tapi untung dia tidak menangkap kekesalanku, karena kudengar dia berkata,
"Saya hampir keluar Neng."
Rasa gairah semakin merangsang diriku, semakin keras juga aku mengemut dan mengisap alat kemaluan Adli. Hingga akhirnya seluruh tubuh Adli mengejang keras, begitu juga batang kejantanannya di mulutku.
"Ah.. ah.. Neng.. Neng Mimien.. ah.. Aduh Neng.." Adli mengerang keras dan panjang. Rupanya dia sedang mengalami puncak kenikmatannya di mulutku. Semburan demi semburan air mani Adli memasuki rongga mulutku. Banyak sekali, kental, dan asin rasanya. Supaya tidak terselak kutelan sebisa-bisanya. Tapi setelah aku tidak tahan lagi, kubiarkan sebagian tertumpah dari mulutku dan terjatuh ke perut Adli.
Beberapa saat kemudian keadaan mulai mereda. Kudengar suara nafas Adli lembut. Alat kejantanannya yang masih berada dalam genggamanku ternyata masih keras juga.
"Adli," kupanggil dia.
Sambil mengusap-usap bahuku ia menjawab,
"Neng?"
Kujelaskan padanya, "Punya lelaki yang seperti begini yang jadi idaman wanita."
Seperti biasa dalam kepolosannya dia tidak langsung mengerti,
"Kenapa Neng?"
Karena sudah puas aku tidak kesal lagi dengan keluguannya,
"Soalnya biarpun sudah lepas muatannya masih tetap keras."
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh lagi kuminta ia membujurkan dirinya di ranjang. Lalu kuambil handuk yang sudah kubasahi dengan air panas dan kubersihkan seluruh tubuhnya. Sebelum tertidur Adli sempat memandangku mesra. Katanya lirih,
"Neng Mimien, Terima kasih ya Neng!"
Akupun tidur di ranjang satunya. Pemandangan tubuh telanjang Adli, yang sebagiannya telah terbungkus selimut, mengantarku ke dunia mimpi.
Ranjang Asmara
Perjalanan di hari berikutnya berlangsung cukup lama. Bukan karena jarak yang ditempuh jauh sekali, tapi lebih disebabkan oleh kemacetan yang luar biasa. Sebuah truk trailer rupanya mengalami selip dan terbuang melintang menutupi sebagian jalan antar kota yang kami liwati. Setibanya di kota tujuan berikutnya, yaitu Kuningan, langsung kuperintahkan mencari restoran untuk makan malam. Sayangnya setelah itu tidak langsung dapat menemukan hotel ataupun losmen dengan kamar yang masih kosong. Akhirnya terpaksa mencari kamar agak keluar kota, yaitu di kawasan pariwisata yang berada di daerah pegunungan.
Baru menjelang tengah malam kami menemukan sebuah losmen kecil di mana masih tersedia kamar yang kosong. Untungnya pada setiap kamar di losmen ini dilengkapi pula dengan kamar mandi. Ketika aku memesan kamar, kulihat wajah Adli menatap dengan pandangan penuh harap. Begitu ganteng, tetapi polos dan lugu sekali. Kupesan satu kamar untuk dia dan Pak Soleh, supir kantorku. Aku sendiri minta kamar dengan tempat ranjang double-bed. Berbeda dengan semalam sebelumnya, kali ini aku tidak begitu tergerak untuk mengajak Adli ke kamarku. Barangkali karena hasratku sudah terpuaskan tadi malam, lagi pula perjalanan hari ini benar-benar membuatku sangat letih.
Segera aku mandi dan membaringkan diriku di ranjang empuk yang tersedia. Lama kelamaan baru terasa malam ini sepi sekali. Agak menyesal juga tadi tidak mengajak Adli bersamaku. Tapi kalau mencarinya sekarang rasanya gengsi juga. Sewaktu aku hampir tertidur kudengar bunyi ketukan di pintu, lalu suara seorang laki-laki.
"Neng, Neng Mimien, sudah tidur belum..? Neng bukain pintunya dulu Neng."
Karena ketukan pintunya begitu gencar akhirnya kubukakan pintu untuk Adli. Ia segera masuk ke dalam ruangan, sedangkan aku yang tadi tidur dengan busana yang sangat minim segera kembali ke bawah selimut. Kutanya kepadanya,
"Kenapa Adli, ada apa?"
"Adli nggak bisa tidur Neng, boleh nggak Adli di sini? Nggak usah sampe pagi sih."
Dengan hati-hati kujawab, "Boleh sih boleh, tapi apa kata Pak Soleh nanti?"
Adli tersenyum lebar, "Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan. Besok saya bilangin aja Adli nyari kamar lain, soalnya Pak Soleh kalo tidur ngorok Neng."
Rupanya biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Adli mau naik ke atas ranjang kucegah dia.
"Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan kotor."
Tersenyum Adli memandangku,
"O iya Neng, lagi pula supaya nanti gampang ya kalo Neng Mimien mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya ya Neng."
Kurang asem si Adli, berani betul dia membuat asumsi seperti itu. Sebelum kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang telanjang kekar naik ke atas ranjang.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan Adli di bahuku.
"Neng jangan tidur dulu dong Neng," pintanya memelas mesra. "Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan," sambungnya lagi.
Kuputuskan untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam saja, tapi kubiarkan Adli merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu disusupkannya lengan kirinya ke bawah leherku, sehingga aku sekarang berbantalkan lengan yang kokoh itu.
"Balik sini dong Neng," pinta Adli sekali lagi.
Kuturuti permintaannya. Terasa bulu ketiaknya menusuk pipiku. Tercium juga bau keringatnya yang agak tajam menyengat. Kurasa Adli belum mandi, dan yang pasti tidak memakai deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan semacam itu, gaji untuk hidup sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan. Tapi tidak kuucapkan komentar apapun, karena akupun tidak ingin untuk menyinggung perasaannya.
"Neng," kata Adli memulai percakapan, "tadi malam enak ya Neng?"
Kutanggapi ia malas-malasan, "Iya, lumayan juga."
Dengan terbuka ia mengakui, "Neng, Inget yang tadi malam Adli jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi ITU-nya Neng."
Dengan maksud iseng kugoda Adli,
"Maksud Adli ITU-nya apa sih?"
Dalam kepolosannya sulit ia untuk menjawab dengan tepat,
"Itu Neng, penisnya.. eh apa tuh namanya Neng?"
Aku jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Adlipun tertawa bersamaku.
"Pegangin dong Neng, sekarang dia memintaku."
Terus terang aku sendiri juga mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke dalam selimut, dan segera menuju ke arah selangkangannya. Begitu terpegang tonjolan keras di balik celana dalamnya segera tanganku mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi ternyata alat kejantanan Adli sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa sekali hangat berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang barangkali sudah mengendap seharian.
Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium dan emut puting dadanya. Adli menggelinjang kegelian. Katanya meminta, "Terus ke bawah Neng."
Tapi tercium lagi olehku bau keringat Adli. Karena tidak tahan kuusulkan padanya,
"Adli, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh."
Di luar dugaanku Adli menanggapi dengan penuh percaya diri,
"Nggak usah deh Neng, dingin sekali."
Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku membujuknya,
"Lho kan ada air panasnya, sana deh.. Apa harus saya yang mandiin?"
Sambil berdiri Adli berkata, "Nggak usah ah kalo dimandiin, emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri."
Adli merosot celana dalamnya, "Tapi ininya dicium dulu dong."
Agak jengkel aku mendengar permintaannya. Dari nadanya kesan yang kutangkap seakan-akan dia ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan maksud supaya dia cepat pergi ke kamar mandi, segera kukecup kepala dan batang kemaluannya, masing-masing sekali. Tapi Adli memintaku untuk mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu sekali lagi. Akhirnya malah aku sendiri yang keenakan menciumi batang kemaluan Adli.
Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. Batang kejantanan Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan, "Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi."
Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya. Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali iini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien."
Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kemaluannya. Lidahku menyapu semua sudut kemaluan yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Adli menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng," Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung batang kemaluan Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu.
Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah ngalamin yang seperti begini.. Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang. Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda, cepat kutarik batang kejantanannya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian kemaluanku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian.
Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya nggak tahan," kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut tonggak kejantanan Adli yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap kemaluanku yang tadi sudah dirangsang Adli. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan enak.. Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas."
Setelah itu kembali kuemut-emut batang kemaluan Adli, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli mengerang dan mengaduh. Sesuai permintaanku tadi ditariknya tonggak kejantanannya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Adli mulai berejakulasi, aku mengaduh kaget. Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanannya ke wajahku. "Ah.. ini Neng.. ah.. ah."
Semburan demi semburan air mani tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari batang kejantanan Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ejakulasinya. Dengan cepat kumasukkan barang kepunyaan Adli itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata,
"Aduh Neng, enak sekali rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali," jawabku sambil beringsut mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam aku dibuaiannya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.
"Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya..," aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga. Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kejantanannya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut.
Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata kepunyaanku agak sempit dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong alatnya kejantanannya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan alat kejantanan Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar. Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan.
Belum pernah liang kewanitaanku menerima kunjungan benda asing milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan Mas Heru. Dibanding suamiku, kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran alat vitalnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku. Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya.
Menjelang Adli mencapai klimaksnya, masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh neng.. aahh," demikian Adli meracau sambil mendorong kepunyaannya sedalam-dalamnya memasuki liang kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena orgasme yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari siramannya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.
Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak orgasmeku, sebelum ia sendiri menyiramkan air maninya ke liang rahimku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah Mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.
Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata dia sikapnya romantis, walaupun kemasan gayanya agak lugu. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu. Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain.
Demi nama baik dan martabat aku selalu berusaha untuk bersikap hati-hati. Demikian pula Mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali. Beberapa bulan kemudian ternyata aku hamil. Baik Mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira. Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua Mas Heru. Aku memang juga gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak bisa dikatakan mirip dengan Mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena Mas Heru tidak merasa curiga sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi. Sehingga lengkap sudah rasanya kebahagiaanku. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin sempurna adalah sikap Mas Heru dan Adli yang baik. Mereka berdua sama-sama menyayangi anak-anakku, selainnya tentunya menyayangi diriku. Adli sendiri akhirnya juga mempunyai dua orang anak dari istrinya. Demi ayahnya, mereka aku dukung juga, terutama untuk pendidikannya. Dengan kegiatan usahaku yang semakin saja berkembang, dan asset kekayaan yang terus bertambah, aku cukup mampu untuk melakukan itu semua.
E N D
Beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan calon suamiku, seorang dokter muda yang sedang naik daun. Ketika ia mulai mengunjungi rumahku dan rupanya mulai menunjukkan minatnya terhadapku, kedua orang tuaku menunjukkan rasa senangnya. Maklumlah siapa yang tidak mau punya menantu seorang dokter. Apalagi Mas Heru adalah dokter yang sedang mulai naik daun di kota kediamanku.
Dibandingkan pacar-pacarku dulu, di antaranya ada yang pegawai bank, dosen dan pengusaha, kedua orang tuaku paling bersikap mendukung terhadap dokter muda ini. Apalagi kelihatannya Mas Heru cukup serius, dalam arti bukan hanya sekedar ingin berkawan. Sebagai anak yang ingin berbakti terhadap orang-tua tentunya aku harus mau mengikuti apa yang mereka anggap baik untuk kehidupan dan masa depanku.
Walaupun sebetulnya aku tidak terlalu tertarik kepada Mas Heru. Untukku dia orangnya terlalu serius, dan selalu berbicara tentang pekerjaannya. Seolah-olah tidak ada hal lain dalam kehidupan ini yang menarik hatinya. Sudah kubayangkan bagaimana akan membosankannya kehidupanku sebagai istrinya. Apalagi sebetulnya aku termasuk orang yang popular sebagai kembang sekolahku. Rasanya kalaupun mau mencari suami seorang dokter kalau bisa jangan yang seperti Mas Heru. Tapi apa boleh buat, ternyata tidak selamanya manusia dapat bebas memegang kendali hidupnya.
Ketika Mas Heru datang di dampingi kedua orang tuanya, lalu ayahku menanyakan kesediaanku untuk dilamar Mas Heru, pada waktu itu rasanya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Pesta pernikahanku memang cukup meriah, terutama untuk ukuran kota kecilku. Tidak lama setelah itu Mas Heru, yang telah dipindah-tugaskan ke kota Bandung, memboyongku ke tempat kediamanku yang baru.
Benar saja ternyata tepat apa seperti apa yang telah kuperkirakan. Di kota Bandung aku kesepian dan segera merasa jenuh. Teman-temanku belum banyak, sedangkan Mas Heru terlalu larut dalam tugas-tugasnya. Nikmatnya kehidupan perkawinan, seperti yang pernah digambarkan kakak-kakakku, ternyata tidak kualami. Bukan hanya secara sosial lingkungan Mas Heru terasa begitu membosankan, kehidupan seksualku dengannya juga terasa hambar. Hampir saja aku menelepon mantan pacarku, seorang pegawai bank yang kebetulan juga dipindah ke kota Bandung. Walaupun dengannya dulu aku tidak pernah sampai berani berhubunagan seks, tapi sebatas hubungan oral yang pernah kami lakukan rasanya jauh lebih hebat daripada yang kualami sekarang. Tapi untunglah aku sanggup menahan diri. Rasanya kemana gengsi dan martabatku kalau harus mencari-carinya, padahal dulu lamarannya ditolak orang-tuaku
Penjaga Kantor
Dalam keadaan hampir tidak tahan lagi, seorang wakil perusahaan farmasi, yang kebetulan menjadi relasi suamiku, datang mengunjungiku. Dimintanya kesediaanku untuk menjadi agen penyalur obat-obatan produksi perusahaannya. Katanya menurut pengamatannya, aku orangnya supel, lincah dan cantik, bahkan kelihatannya mempunyai bakat untuk meyakinkan orang lain dengan mudah. Sangat berbeda, katanya lagi, dibandingkan dengan suamiku. Dengan training dan dukungan teknis perusahaannya, aku akan mampu mengembangkan usaha sebagai penyalur obat-obatan.
Karena tertarik kuminta ijin suamiku. Pada mulanya ia nampak keberatan, karena takut ada konflik kepentingan dengan profesinya sebagai dokter. Tetapi setelah kurayu terus-menerus akhirnya Mas Heru setuju juga. Katanya aku boleh mencoba usaha baru ini, dengan syarat tidak memasarkan obat-obatan yang kuageni di kota Bandung. Berarti dengan demikian aku harus mau melakukan kegiatan-kegiatan marketing ku di kota-kota lainnya, walaupun masih di sekitar Bandung juga.
Setelah membuat kalkulasi yang cukup mendalam, aku putuskan untuk mulai melangkah. Kusewa sebuah ruko agak besar di Jalan Soekarno-Hatta, supaya dapat dijadikan kantor sekaligus gudang. Dengan bantuan relasi pabrik obat yang kuageni aku mulai menata usahaku. Terpaksa aku sendiri yang harus melakukan perjalanan-perjalan untuk pemasaran, malah kadang-kadang sampai berhari-hari.
Tanpa diduga hanya dalam tempo enam bulan kegiatanku sudah menampakkan tanda-tanda keberhasilannya. Dengan keadaan yang semakin berkembang bertambah pula karyawanku, termasuk untuk bidang pemasarannya. Tapi beberapa pelanggan yang telah kubina sejak awal, termasuk di antaranya beberapa rumah sakit dan apotik ternama, tetap kutangani sendiri. Karena itulah walaupun usahaku kelak semakin maju, aku sendiri tetap melakukan perjalanan-perjalanan yang cukup melelahkan, dalam rangka memelihara hubungan dengan pelanggan-pelanggan lamaku.
Di kantorku pegawai yang paling tua bernama Pak Solichin, dan sebagai penghargaan sering kupanggil mang Ihin. Barangkali karena dia sendiri merasa akrab denganku dipanggilnya aku Neng Yasmin, atau kadang-kadang Neng Mimien. Tanpa kuduga ternyata sebutan untukku ini akhirnya menjadi populer di antara karyawan-karyawanku. Mereka resminya tetap menyebutku Bu Yasmin atau Bu Heru, tapi tidak jarang juga Neng Mien atau Neng Mimien. Karena aku masih muda, dengan usia yang tidak terlalu jauh berbeda dari pegawai-pegawaiku, kubiarkan saja mereka menggunakan sebutan akrab ini.
Di antara karyawanku ada seorang pemuda bernama Adli. Ia masih muda, tetapi sudah berkeluarga dengan satu orang anak. Orangnya hitam manis, gagah dan tampan, tetapi lugu sekali. Kelihatannya pendidikannya tidak terlalu tinggi. Barangkali malah tidak sampai tamat SD atau SMP. Walaupun demikian kesetiaannya sangat bisa diandalkan, bahkan caranya membela apa yang dianggapnya sebagai kepentinganku sangat fanatik. Dia mulai bekerja di tempatku sebagai penjaga malam, alias satpam, dan ternyata sangat baik menjalankan tugasnya. Karena dia juga pandai ilmu-ilmu bela diri, seperti silat dan sebagainya, beberapa stafku mengusulkan supaya dia menjadi pengawalku. Khususnya dalam perjalanan-perjalananku keluar kota. Apalagi akhir-akhir ini keadaan di wilayah sekitar Bandung dirasa kurang aman.
Jadi mulailah Adli ikut mendampingiku keluar kota. Ternyata pengaturan ini sangat memuaskanku, karena orangnya lucu dan jenaka. Sering-kali aku merasa terhibur dengan lelucon-lelucon ataupun gayanya yang kocak. Di samping itu ada lagi kelebihannya, sebagai seorang jago silat Adli juga pandai mengurut dan memijat. Maka bukan sekali dua-kali aku sempat memanfaatkan kebolehannya ini.
Pada suatu hari aku harus melakukan kunjungan ke kota-kota Sumedang, Kuningan dan Cirebon. Endah, seorang tenaga pemasaran yang biasa mendampingiku, kali ini tidak bisa ikut bersamaku. Kebetulan orang-tuanya jatuh sakit. Karena Mas Heru tidak keberatan pergilah aku dengan supirku, tentunya di kawal juga oleh Adli. Aku meninggalkan kota Bandung dengan perasaan enteng saja. Tidak terbayang bahwa nantinya akan terjadi sesuatu yang akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupanku.
Tidur Bersama
Semua urusanku di Sumedang berjalan lancar, bahkan mungkin lebih banyak waktu yang kugunakan ngobrol dengan langganan-langgananku daripada betul-betul menangani masalah bisnisnya. Seusai untuk malam pertama ini kami menginap di Sumedang. Kupilih kamar yang baik dan bersih untukku, lalu aku mandi menyegarkan diriku. Ketika mencoba untuk tidur ternyata aku tidak merasa mengantuk sama-sekali. Sulit sekali bagiku untuk memicingkan mataku. Akhirnya daripada kesal sendirian kusuruh Adli datang ke kamarku. Akan kuminta dia memijatku, sambil aku nanti mendengarkan cerita-ceritanya yang jenaka.
"Ada apa neng?" tanya Adli sambil memasuki kamarku.
Kuminta Adli memijat punggungku. Sebagai karyawan yang setia ia mau saja. Setelah beberapa saat kuminta ia menduduki pantatku, maksudnya supaya tekanan pijatannya lebih terasa. Santai saja kubiarkan ia mengurut dan memijati punggungku yang agak terbuka, karena jenis daster yang kukenakan memang seperti itu.
"Neng, panas yah! Saya sampai keringetan!"
Dengan lugunya Adli mengeluh kepadaku. Santai saja kutanggapi kata-katanya,
"Ya buka aja kaosnya!"
Setengah geli dan juga kesal aku melihat dia langsung membuka kaosnya dengan tanpa ragu sedikitpun. Lalu kembali dia memijati punggungku. Tidak berapa lama kemudian terdengar Adli berbicara lagi,
"Neng.. Neng Mimien, maaf ya Neng, kalau ada yang mengganggu."
Polos betul anak muda ini. Begitu sopan dan lugu, tapi juga gagah pembawaannya.
Memang aku sendiri merasakan ada yang sesuatu mengganjal di atas pantatku.
"Kenapa sih memangnya?"
Tanyaku dengan maksud mau mengganggunya. Jawabannya yang polos membuatku geli, tapi juga terangsang. Dengan sangat lugu dia menerangkan,
"Iya Neng, sudah seminggu belum kesampean.. eh.. gituan."
Kutanya lagi, "Kok bisa?"
"Iya habis kan sudah tiga hari ini sibuk di kantor, habis itu diminta nganterin Neng keliling." Lalu sambungnya lagi,
"Padahal sebelum berangkat istri saya lagi.. itu tuh Neng.. datang bulan."
Karena kepingin tahu kutanya terus,
"Jadi gimana dong?"
Keluguan dan kepolosannya semakin terlihat sewaktu dia menjawab.
"Yah pusing saja.. Apalagi ngeliat punggung Neng Mimien kenceng begini, kayak istri saya saja.., bedanya neng lebih putih aja."
Agak menahan tawa kuanjurkan padanya,
"Yah kalau pusing dilepas aja pakai tangan di kamar mandi sana."
Usulanku ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh Adli.
"Iya yah Neng, bener juga, kalau gitu ditinggal sebentar ya Neng."
Adli berdiri lalu melangkah kearah kamar mandi. Seakan-akan tanpa beban apapun ditinggalnya aku sendiri begitu saja. Masih terlihat olehku tubuhnya yang ramping, kekar dan berotot itu. Tanpa sadar kutelan ludah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di kerongkonganku.
Karena bosan dan juga ingin tahu, kalaupun belum karena dorongan gairah, kususul Adli ke kamar mandi. Karena tidak terkunci pelan-pelan kubuka pintunya dan akupun masuk dengan rasa penasaran. Adli tidak menyadari kehadiranku di dekatnya. Terlihat dia sedang berdiri menyandar pada bak mandi. Tubuhnya dalam keadaan telanjang, karena tadi baju kaosnya sudah kusuruh lepas waktu sedang memijatiku. Walaupun kulitnya agak gelap, secara keseluruhan dia terlihat gagah. Celana pendeknya masih menggantung di pahanya, karena rupanya hanya dilorot sebagian.
Terlihat matanya terpejam menikmati apa yang sedang dilakukannya. Dari gerakan pada lengannya kutahu dia sedang mengocok barang kepunyaannya. Segera kutujukan mataku ke arah selangkangannya. Apa yang kulihat saat itu membuatku kagum, dan juga nafasku sesak tersengal. Tangan Adli sedang menggenggam alat kejantanannya, yang kelihatan besar dan panjang sekali. Sangat berbeda dengan kepunyaan Mas Heru yang ukurannya sedang-sedang saja. Ujung kepala kemaluannya bulat, keras dan mengkilat. Seperti orangnya warnanya juga cokelat tua agak kehitam-hitaman.
Adli masih terus mengocok-ngocok barang kepunyaannya yang mengagumkan itu. Karena matanya terpejam dia tidak menyadari bahwa aku telah semakin dekat dengannya. Aku juga terbawa untuk memejamkan mataku. Terbayangkan olehku hal yang tidak-tidak yang juga membuatku terangsang. Kurasa sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sekali lagi aku sampai menelan ludah. Lalu kuberanikan diriku dan menyapanya,
"Adli! Besar amat sih itu-nya?"
Adli terlihat sangat terkejut. Tersipu-sipu ia berkata,
"Aduh Neng, kok ada di sini.. Aduh maaf Neng!"
Segera kutenangkan dia, "Nggak apa-apa, nggak apa-apa kok."
Lalu sambil mengulurkan tanganku ke arah tonggak kejantanan Adli aku berkata,
"Coba lihat dong! Ukurannya kok sampai sebesar ini sih?"
Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga tonggak kejantanan yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang sudah hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang menikmati kejantanan Adli kudengar dia bertanya,
"Neng seneng ya sama ITU-nya Adli."
Kujawab singkat, "Iya dong, seneng sekali."
Rasa penasaran rupanya mendorongnya bertanya lagi,
"Kalau sama yang dulu-dulu."
Pertanyaannya membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya,
"Senengan yang ini."
Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku,
"Kenapa?"
Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia,
"Ini yang paling hebat, paling besar, paling kuat.. pokoknya.. paling jagonlah."
Adli tersenyum bangga. Lalu pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari batang kemaluannya.
"Iya deh, sekarang Adli mau mandi dulu ya,' katanya meminta diri.
Sejenak aku merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan ditolak, atau malah dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Adli pergi, biarpun hanya untuk ke kamar mandi.
Malu-malu dia berusaha menghindar, tapi terpegang juga olehku barang kepunyaannya. Lucunya setelah terpegang dia tidak terus berontak, malah dibiarkannya aku mengusap-usap alat kejantanannya itu. Setelah aku usap-usap Adli terlihat sudah mulai mampu menguasai diri lagi. Malah rupanya keberaniannya timbul kembali. Dengan gaya lugunya dia bertanya,
"Emangnya besar ya Neng punya Adli?"
Aku mengangguk mengiyakan. Hampir tertawa aku ketika Adli menanyakan,
"Tapi istri saya kok nggak pernah bilang apa-apa yah?"
Kujawab saja sekenanya,
"Wah dia nggak ngerti suaminya punya barang hebat.. Eh ngomong-ngomong mau diterusin nggak?" Dengan manis dan lugu Adli mengangguk,
"Kalau nggak diterusin entar pusing Neng."
Tidak mampu menahan diri lagi langsung kutawarkan padanya,
"Mau saya bantuin nggak?"
Terlongo Adli memandangku dan bertanya,
"Emangnya Eneng mau?"
Sambil tersenyum genit aku berkata kepadanya,
"Kalau untuk kamu mau dong.. tapi jangan di sini ya, di kamar aja yuk!"
Kutarik tangan Adli dan menuntunnya kembali ke kamar tidur. Kuarahkan supaya ia duduk membujur di atas ranjang, lalu aku menelungkup di hadapannya. Kedua tanganku mulai mengusap-usap batang kejantanan Adli. Ukurannya memang luar biasa. Tadi dalam keadaan Adli berdiri, kalau batangnya ditegakkan sepertinya panjangnya sampai ke pusarnya. Sekarang dalam keadaan dia duduk panjangnya jelas meliwati pusarnya itu.
"Aduh Neng, geli banget!" Erang Adli.
Kedua lengannya mengencang menyangga tubuhnya, sampai terlihat otot-ototnya menonjol gagah. "Adli! Adli! Besar amat ya kepunyaan kamu ini, katanya orang Arab yang itunya gede-gede begini," demikian aku membuatnya bertambah semangat.
Ternyata Adli mengiyakan sinyalemen ini dengan menerangkan,
"Iya Neng, kakek saya dari pihak ibu memang keturunan Arab."
Pantaslah kalau begitu. Beberapa saat hening tanpa ada suara, sementara aku terus mengocok-ngocok lembut barang kepunyaan Adli.
Sampai akhirnya terdengar lagi Adli bertanya,
"Neng, katanya kalau orang bule seneng ngemutin pake mulut yah Neng?"
Pertanyaan ini kurasa semakin menjurus dan membuatku terusik oleh keinginan terpendam yang ada di hatiku. Dengan singkat kujelaskan padanya,
"Ah bukan orang bule aja, orang Indonesia juga ada."
Setelah terdiam sejenak pertanyaan berikutnya membuat gairahku semakin tergugah.
"Kalau Neng Mimien gimana?"
Walau dengan nada ragu-ragu berani juga dia menanyakannya. Akupun mengaku terus terang,
"Yah saya sih dari dulu juga suka."
Sejenak lagi Adli terdiam lalu terang-terangan bertanya,
"Sama punya Adli mau nggak Neng?"
Aku melepas nafas lega, rupanya akan terjadi juga hal tidak-tidak yang dari tadi terbayang olehku.
Tapi aku tidak mau terburu-buru, aku masih ingin mempermainkannya dulu. Dengan mimik serius kujelaskan padanya,
"Wah kalau itu sih harus dilamar dulu!"
Rupanya tertarik Adli bertanya mengejar,
"Maksudnya dilamar gimana Neng?"
Masih tetap serius kupertegas lebih jauh lagi,
"Ya ngelamar anak orang kan biasanya ada syaratnya."
Wajah Adli terlihat agak kecewa,
"Yah kalau pake Mas kawin mah Adli nggak punya."
Tidak ingin terlalu lama berjual mahal langsung kujelaskan padanya,
"Maksudnya bukan begitu, syarat sebagai laki-laki ya ITU-nya bisa bangun, besar, panjang, keras sama kuat."
Kembali Adli nampak bersemangat,
"Oh kalau itu sih Adli mampu.. Bersedia nggak Neng dilamar Adli?"
Aku membisikkan kesediaanku. Lalu Adli berkata dengan penuh keseriusan,
"Neng, bersama ini Adli nyatakan bahwa Adli ngelamar Neng Mimien alias Neng Yasmin dan mampu memenuhi syarat yang diminta tadi.."
Kujawab kata-katanya itu, "Dengan ikhlas saya bersedia menerima lamarannya Adli dan berjanji untuk memuaskan kemauannya."
Walaupun aku sebetulnya bercanda, tetapi semua kulakukan dengan penuh keseriusan. Begitu pula Adli menanggapinya dengan cara yang serius juga.
Sambil tersenyum lega Adli bertanya,
"Terus gimana Neng?"
Aku juga tersenyum dan menjawab, "Terus saya cium."
Dengan bersemangat Adli memyambutnya,
"Aduh mau Neng, ayo dong!"
Pada saat bibirku mendarat di atas kepala kemaluannya dan mengecupnya Adli mendesah,
"Aduh geli Neng, enak."
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat dengan lidahku, ia betul-betul merasakan nikmatnya. Tubuhnya mengejang keras.
"Aduh Neng geli sekali."
Begitu kumasukkan ujung kemaluannya yang seperti topi baja itu ke mulutku, lalu mulai aku kulum, Adli mengerang panjang. Karena keenakan dia sampai menekan kepalaku ke bawah. Dipenuhi oleh kejantanan lelaki yang sebesar itu aku sampai sulit bernafas. Untung aku sudah cukup berpengalaman dalam hal seks oral, sehingga dengan mudah aku bisa menyesuaikan gerakan bibir, lidah dan mulutku.
Ketika ujung tongkat kejantanannya menyentuh langit-langit mulutku, aku merasakan lonjakan gairah yang membawa nikmat. Sayang sementara sedang menikmati itu semua, masih kudengar juga Adli bertanya lagi.
"Neng hanya ini aja apa boleh lebih Neng?"
Terpaksa aku menjawab dulu, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan. Kuusahakan supaya Adli bisa menerima keteranganku dengan baik.
"Sebatas ini aja ya, soalnya baik Adli maupun saya kan udah berkeluarga.. Lagi pula kalau meliwati batas ini kita kan jadinya melanggar perintah agama.. Iya kan Adli?"
Tersenyum puas Adli memandangku,
"Iya juga ya Neng, sampai sekarang Adli belom pernah melanggar perintah agama.. Terima kasih ya Neng, begini aja Adli udah puas sekali kok."
Manis sekali anak ini, akupun jadi semakin menyukainya. Langsung kuperhebat emutanku, sampai aku sendiri semakin terangsang. Sewaktu aku sudah mulai hanyut, ternyata masih juga kudengar permintaan Adli.
"Neng..," panggilnya, "Neng Mimien."
Agak kesal aku menjawabnya, "Iya kenapa? Ada apa?"
Rupanya Adli tidak tahu bahwa aku merasa kesal. Terbukti dia masih memintaku,
"Neng, sambil diemutin, dijilatin juga Neng, enak kan kalau sembari dijilatin.."
Kupenuhi permintaannya, walaupun aku merasa agak jengkel. Berani betul anak muda ini menyuruh-nyuruh aku. Untung suasana batinku tidak sampai terganggu, sehingga aku dapat mencapai orgasmeku. Karena sudah terangsang dari tadi, terutama setelah mulai mengemut alat kejantanan Adli, beberapa usapan saja sudah cukup untuk membawaku ke puncak rasa jasmaniku. Aku mengaduh, merintih dan mengerang sambil terus menjilati barang kepunyaan Adli. Laki-laki itu sampai melihati aku dengan pandangan agak heran. Tapi tidak kuperdulikan lagi dirinya. Terus aku emuti daging keras Adli di mulutku, sampai gelora rasaku mereda.
Setelah itu yang aku sadar adalah betapa pegalnya rahang mulutku, karena dari tadi mengemuti kepunyaan Adli dengan tanpa henti. Sedikit-sedikit mulai ada rasa jengkel juga karena daya tahan kejantanan lelaki itu kuat sekali. Hampir aku sentak dia ketika sekali lagi kudengar suaranya berbicara kepadaku.
"Neng..," katanya, "Neng."
"Aduh Adli, ada apa lagi sih?"
Tapi untung dia tidak menangkap kekesalanku, karena kudengar dia berkata,
"Saya hampir keluar Neng."
Rasa gairah semakin merangsang diriku, semakin keras juga aku mengemut dan mengisap alat kemaluan Adli. Hingga akhirnya seluruh tubuh Adli mengejang keras, begitu juga batang kejantanannya di mulutku.
"Ah.. ah.. Neng.. Neng Mimien.. ah.. Aduh Neng.." Adli mengerang keras dan panjang. Rupanya dia sedang mengalami puncak kenikmatannya di mulutku. Semburan demi semburan air mani Adli memasuki rongga mulutku. Banyak sekali, kental, dan asin rasanya. Supaya tidak terselak kutelan sebisa-bisanya. Tapi setelah aku tidak tahan lagi, kubiarkan sebagian tertumpah dari mulutku dan terjatuh ke perut Adli.
Beberapa saat kemudian keadaan mulai mereda. Kudengar suara nafas Adli lembut. Alat kejantanannya yang masih berada dalam genggamanku ternyata masih keras juga.
"Adli," kupanggil dia.
Sambil mengusap-usap bahuku ia menjawab,
"Neng?"
Kujelaskan padanya, "Punya lelaki yang seperti begini yang jadi idaman wanita."
Seperti biasa dalam kepolosannya dia tidak langsung mengerti,
"Kenapa Neng?"
Karena sudah puas aku tidak kesal lagi dengan keluguannya,
"Soalnya biarpun sudah lepas muatannya masih tetap keras."
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh lagi kuminta ia membujurkan dirinya di ranjang. Lalu kuambil handuk yang sudah kubasahi dengan air panas dan kubersihkan seluruh tubuhnya. Sebelum tertidur Adli sempat memandangku mesra. Katanya lirih,
"Neng Mimien, Terima kasih ya Neng!"
Akupun tidur di ranjang satunya. Pemandangan tubuh telanjang Adli, yang sebagiannya telah terbungkus selimut, mengantarku ke dunia mimpi.
Ranjang Asmara
Perjalanan di hari berikutnya berlangsung cukup lama. Bukan karena jarak yang ditempuh jauh sekali, tapi lebih disebabkan oleh kemacetan yang luar biasa. Sebuah truk trailer rupanya mengalami selip dan terbuang melintang menutupi sebagian jalan antar kota yang kami liwati. Setibanya di kota tujuan berikutnya, yaitu Kuningan, langsung kuperintahkan mencari restoran untuk makan malam. Sayangnya setelah itu tidak langsung dapat menemukan hotel ataupun losmen dengan kamar yang masih kosong. Akhirnya terpaksa mencari kamar agak keluar kota, yaitu di kawasan pariwisata yang berada di daerah pegunungan.
Baru menjelang tengah malam kami menemukan sebuah losmen kecil di mana masih tersedia kamar yang kosong. Untungnya pada setiap kamar di losmen ini dilengkapi pula dengan kamar mandi. Ketika aku memesan kamar, kulihat wajah Adli menatap dengan pandangan penuh harap. Begitu ganteng, tetapi polos dan lugu sekali. Kupesan satu kamar untuk dia dan Pak Soleh, supir kantorku. Aku sendiri minta kamar dengan tempat ranjang double-bed. Berbeda dengan semalam sebelumnya, kali ini aku tidak begitu tergerak untuk mengajak Adli ke kamarku. Barangkali karena hasratku sudah terpuaskan tadi malam, lagi pula perjalanan hari ini benar-benar membuatku sangat letih.
Segera aku mandi dan membaringkan diriku di ranjang empuk yang tersedia. Lama kelamaan baru terasa malam ini sepi sekali. Agak menyesal juga tadi tidak mengajak Adli bersamaku. Tapi kalau mencarinya sekarang rasanya gengsi juga. Sewaktu aku hampir tertidur kudengar bunyi ketukan di pintu, lalu suara seorang laki-laki.
"Neng, Neng Mimien, sudah tidur belum..? Neng bukain pintunya dulu Neng."
Karena ketukan pintunya begitu gencar akhirnya kubukakan pintu untuk Adli. Ia segera masuk ke dalam ruangan, sedangkan aku yang tadi tidur dengan busana yang sangat minim segera kembali ke bawah selimut. Kutanya kepadanya,
"Kenapa Adli, ada apa?"
"Adli nggak bisa tidur Neng, boleh nggak Adli di sini? Nggak usah sampe pagi sih."
Dengan hati-hati kujawab, "Boleh sih boleh, tapi apa kata Pak Soleh nanti?"
Adli tersenyum lebar, "Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan. Besok saya bilangin aja Adli nyari kamar lain, soalnya Pak Soleh kalo tidur ngorok Neng."
Rupanya biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Adli mau naik ke atas ranjang kucegah dia.
"Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan kotor."
Tersenyum Adli memandangku,
"O iya Neng, lagi pula supaya nanti gampang ya kalo Neng Mimien mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya ya Neng."
Kurang asem si Adli, berani betul dia membuat asumsi seperti itu. Sebelum kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang telanjang kekar naik ke atas ranjang.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan Adli di bahuku.
"Neng jangan tidur dulu dong Neng," pintanya memelas mesra. "Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan," sambungnya lagi.
Kuputuskan untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam saja, tapi kubiarkan Adli merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu disusupkannya lengan kirinya ke bawah leherku, sehingga aku sekarang berbantalkan lengan yang kokoh itu.
"Balik sini dong Neng," pinta Adli sekali lagi.
Kuturuti permintaannya. Terasa bulu ketiaknya menusuk pipiku. Tercium juga bau keringatnya yang agak tajam menyengat. Kurasa Adli belum mandi, dan yang pasti tidak memakai deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan semacam itu, gaji untuk hidup sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan. Tapi tidak kuucapkan komentar apapun, karena akupun tidak ingin untuk menyinggung perasaannya.
"Neng," kata Adli memulai percakapan, "tadi malam enak ya Neng?"
Kutanggapi ia malas-malasan, "Iya, lumayan juga."
Dengan terbuka ia mengakui, "Neng, Inget yang tadi malam Adli jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi ITU-nya Neng."
Dengan maksud iseng kugoda Adli,
"Maksud Adli ITU-nya apa sih?"
Dalam kepolosannya sulit ia untuk menjawab dengan tepat,
"Itu Neng, penisnya.. eh apa tuh namanya Neng?"
Aku jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Adlipun tertawa bersamaku.
"Pegangin dong Neng, sekarang dia memintaku."
Terus terang aku sendiri juga mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke dalam selimut, dan segera menuju ke arah selangkangannya. Begitu terpegang tonjolan keras di balik celana dalamnya segera tanganku mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi ternyata alat kejantanan Adli sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa sekali hangat berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang barangkali sudah mengendap seharian.
Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium dan emut puting dadanya. Adli menggelinjang kegelian. Katanya meminta, "Terus ke bawah Neng."
Tapi tercium lagi olehku bau keringat Adli. Karena tidak tahan kuusulkan padanya,
"Adli, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh."
Di luar dugaanku Adli menanggapi dengan penuh percaya diri,
"Nggak usah deh Neng, dingin sekali."
Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku membujuknya,
"Lho kan ada air panasnya, sana deh.. Apa harus saya yang mandiin?"
Sambil berdiri Adli berkata, "Nggak usah ah kalo dimandiin, emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri."
Adli merosot celana dalamnya, "Tapi ininya dicium dulu dong."
Agak jengkel aku mendengar permintaannya. Dari nadanya kesan yang kutangkap seakan-akan dia ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan maksud supaya dia cepat pergi ke kamar mandi, segera kukecup kepala dan batang kemaluannya, masing-masing sekali. Tapi Adli memintaku untuk mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu sekali lagi. Akhirnya malah aku sendiri yang keenakan menciumi batang kemaluan Adli.
Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. Batang kejantanan Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan, "Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi."
Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya. Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali iini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien."
Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kemaluannya. Lidahku menyapu semua sudut kemaluan yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Adli menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng," Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung batang kemaluan Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu.
Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah ngalamin yang seperti begini.. Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang. Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda, cepat kutarik batang kejantanannya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian kemaluanku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian.
Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya nggak tahan," kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut tonggak kejantanan Adli yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap kemaluanku yang tadi sudah dirangsang Adli. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan enak.. Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas."
Setelah itu kembali kuemut-emut batang kemaluan Adli, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli mengerang dan mengaduh. Sesuai permintaanku tadi ditariknya tonggak kejantanannya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Adli mulai berejakulasi, aku mengaduh kaget. Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanannya ke wajahku. "Ah.. ini Neng.. ah.. ah."
Semburan demi semburan air mani tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari batang kejantanan Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ejakulasinya. Dengan cepat kumasukkan barang kepunyaan Adli itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata,
"Aduh Neng, enak sekali rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali," jawabku sambil beringsut mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam aku dibuaiannya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.
"Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya..," aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga. Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kejantanannya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut.
Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata kepunyaanku agak sempit dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong alatnya kejantanannya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan alat kejantanan Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar. Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan.
Belum pernah liang kewanitaanku menerima kunjungan benda asing milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan Mas Heru. Dibanding suamiku, kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran alat vitalnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku. Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya.
Menjelang Adli mencapai klimaksnya, masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh neng.. aahh," demikian Adli meracau sambil mendorong kepunyaannya sedalam-dalamnya memasuki liang kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena orgasme yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari siramannya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.
Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak orgasmeku, sebelum ia sendiri menyiramkan air maninya ke liang rahimku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah Mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.
Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata dia sikapnya romantis, walaupun kemasan gayanya agak lugu. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu. Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain.
Demi nama baik dan martabat aku selalu berusaha untuk bersikap hati-hati. Demikian pula Mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali. Beberapa bulan kemudian ternyata aku hamil. Baik Mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira. Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua Mas Heru. Aku memang juga gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak bisa dikatakan mirip dengan Mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena Mas Heru tidak merasa curiga sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi. Sehingga lengkap sudah rasanya kebahagiaanku. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin sempurna adalah sikap Mas Heru dan Adli yang baik. Mereka berdua sama-sama menyayangi anak-anakku, selainnya tentunya menyayangi diriku. Adli sendiri akhirnya juga mempunyai dua orang anak dari istrinya. Demi ayahnya, mereka aku dukung juga, terutama untuk pendidikannya. Dengan kegiatan usahaku yang semakin saja berkembang, dan asset kekayaan yang terus bertambah, aku cukup mampu untuk melakukan itu semua.
E N D
Murid Baru
Namaku Ng Wai Wan. Aku adalah seorang imigran dari Hongkong yang datang ke negeri baru yang bernama Indonesia. Umurku 17 tahun dan aku adalah pelajar SMU di sekolah negeri. Aku tinggal di Jakarta Selatan bersama dengan kedua orang tuaku. Ayahku Ng Yu Po, bekerja sebagai manager bagian pemasaran mobil. Ia adalah orang yang berpikiran luas dan bebas. Aku jarang bertemu dengannya. Ibuku telah meninggal beberapa tahun yang lalu akibat perang triad.
Dulu ayahku adalah anggota triad di daerah Kowloon. Aku sendiri adalah ketua anak brandalan disana. Karena perang triad yang mengakibatkan kematian pada bos ayahku, maka kami sekeluarga harus pindah. Perpindahan ini tidaklah sulit mengingat jumlah keluarga kami yang hanya berdua saja. Pada pertama kalinya aku enggan meninggalkan teman-temanku, namun karena sudah dalam keadaan terdesak, aku hanya bisa menuruti ayahku saja.
Hari ini adalah hari pertama aku pergi ke sekolah. Aku tidak dapat berbicara bahasa Indonesia selancar warga pribumi disini, namun aku akan mencoba sebaik mungkin untuk berbaur dengan teman-teman baru. Saat aku datang ke sekolah aku dipelototi oleh banyak orang karena kulitku berwarna kuning langsat sendiri, sedangkan yang lainnya berwarna kecoklatan. Aku berjalan menuju kesana kemari karena tidak dapat menemukan ruang guru. Aku tidak begitu mahir dalam membaca huruf abjad. Tiba-tiba ada seorang gadis cantik memanggilku dari belakang.
"Hai ada yang bisa saya bantu?" aku terkejut dan melihat ke belakang.
Wajahnya manis sekali dan kulitnya kecoklatan menggoda. Rambutnnya panjang membelai ke bawah. Tinggi badannya sepundakku, dan ia tersenyum manis. Aku menjadi grogi karena jujur saja, aku lebih suka gadis berkulit kecoklatan daripada berkulit putih. Lalu aku pun berkata.
"Teum Ci (yang artinya maaf), saya mau menuju ruang guru" jawabku tersenggat-senggat.
Itulah pertama kalinya aku berbicara dengan menggunakan bahasa asing. Ia tersenyum dan menunjuk ke arah depanku "Itu disana" Lalu bel pun berdering.
"Maaf yah, aku harus masuk kelas sekarang, namaku Santi, senang berkenalan denganmu," katanya lalu ia menjabat tanganku.
Tangannya halus sekali dan aku makin grogi.
"Ngo hai Ng Wai Wan," jawabku.
"Hah? Apa?" tanyanya kebingungan.
"Sorry, Saya Ng Wai Wan" Ia tersenyum lalu lari ke kelasnya.
Akupun segera lari ke ruang yang ia tunjuk itu dan mengetuk pintu itu. Lalu keluarlah guru-guru dan berjalan ke kelas masing-masing. Salah satunya melihatku dan segera menunjukkan ruang pribadi yang ada di ruang guru itu.
"Kamu harus kesana, cepat. Nanti terlambat masuk kelas"
Lalu aku pun berlari ke ruang pribadi itu yang bertulisan ruang kepala sekolah. Aku pun masuk ke sana dan kepala sekolah ngobrol denganku agak lama disana. Aku binggung karena aku sudah telat masuk kelas. Aku bahkan tidak tahu yang mana kelasku. Setelah agak lama ia pun berkata.
"Mari aku antar ke kelasmu. Tenang saja, tidak perlu buru-buru. Kita semua selalu santai-santai dalam melakukan sesuatu. Lambat asal selamat" katanya.
Aku tidak begitu mengerti kata-kata terakhir yang ia ucapkan itu. Lalu aku pun mengikutinya masuk ke kelas baruku. Guruku menyuruhku berdiri disampingnya dan memperkenalkan diriku.
"Saya.. Adalah.. Ng Wai Wan"
Beberapa murid di depanku tertawa karena aksenku yang aneh. Aku menjadi malu. Lalu setelah itu kepala sekolah meninggalkanku, guru disampingk mencoba mencari tempat duduk kosong. Tiba-tiba ada seorang gadis berkata dengan suara keras.
"Duduk disini saja, kosong kok"
Ternyata ia adalah Santi. Wajah manisnya tersenyum dan aku pun menjadi grogi. Guruku menyuruhku duduk di sampingnya. Selama pelajaran berlangsung aku tidak bisa konsentrasi. Mataku terus-terusan terpaku melihat pahanya yang seksi dan mengkilat itu. Lalu tiba-tiba ia menoleh ke samping dan berkata.
"Äda apa?" Aku kaget dan pura-pura bertanya, "Boleh pinjam ini?" tanganku menunjuk ke arah tip-ex dia.
"Boleh," lalu ia memberi tip-exnya padaku.
Aku berpura-pura menip-ex tulisanku dan menulis ulang serta mengembalikan tip-exnya. Tak lama kemudian guruku berkata.
"Tugas ini agak susah, harap kalian membuat grup 4 orang"
Lalu kami pun membuat grup yang terdiri dari 4 orang. Santi menyuruhku duduk di kursinya, dan ia sendiri berpindah ke kursi depan yang di geser ke arah belakang. Dua orang lainnya duduk disampingku dan di samping Santi.
"Halo, aku Tono dan ini temanku Budi" kata kedua orang baru itu.
Aku pun memperkenalkan diri dan merekalah sahabat baruku. Lalu kamipun membuat tugas komputer bersama-sama. Pelajaran komputer sangatlah mudah bagiku, bahkan sudah ketinggalan jaman. Aku menjawab semua soal susah dalam waktu 15 menit. Setelah itu kelompok kami selesai. Kelompok lain menjadi kaget karena mereka membutuhkan waktu 1 jam lebih untuk menyelesaikannya. Karena mempunyai waktu luang yang lama, aku membuka buku pelajaran matematika dan mencoba untuk lebih mengerti rumus-rumus yang susah. Sedangkan semua teman kelompokku sudah santai dan ngobrol.
"Orang Hongkong rajin yah" kata Budi.
"Pintar lagi," kata Tono menyambung.
"Ah tidak juga kok, pelajaran Matematika kalian juga susah. Aku tidak mengerti sama sekali" kataku.
"Yang mana?" kata Santi.
Ia lalu menerangkan bagian yang susah itu padaku. Seragamnya tidak dikancing semua terutama bagian atasnya sehingga aku dapat melihat belahan payudara atasnya yang montok itu dan berwarna kecoklatan. Penisku langsung berdiri dan menabrak meja. Aku langsung memegang penisku itu dan menahan sakit.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Ah tidak apa-apa kok" jawabku.
Anto yang duduk disampingku itu tersenyum karena melihat hal itu. Lalu ia mengajak Budi untuk pergi ke toilet dan meninggalkanku bersama Santi.
"Kami mendukungmu, teman" katanya berbisik padaku.
Penisku makin lama makin berdiri kuat karena aku melihat buah dada itu dan Santi tidak memakai BH pada saat itu. Hari itu adalah hari pertamaku yang membahagiakan. Ternyata aku tidak salah memilih untuk pindah ke Indonesia. Saat aku pulang ke rumah aku segera ganti baju dan membantu ayahku melanjutkan membereskan barang kami. Pada sore hari datanglah teman ayahku dan memperkenalkan 5 pembantu rumah tangga untuk kami sewa. Kami terkejut karena gaji mereka jauh lebih murah dari yang kami bayangkan. Mereka pun pandai memasak.
Pada malam itu setelah saya mengatur kamar tidur saya, saya pun mandi dan siap untuk makan malam. Dimeja kami banyak terdapat makanan kari. Saat aku cicipi rasanya pedas sekali, tapi enak juga. Pembantu kami telah menyiapkan air dingin untuk kami. Setelah makan malam aku menelepon Santi untuk mengajaknya ngobrol sebentar. Yang disayangkan adalah Santi sedang pergi entah kemana. Dia sendiri tidak punya handphone. Malam itu aku tidak bisa tidur karena terus membayangkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
Keesokan harinya aku pergi kesekolah. Ternyata Santi menungguku di depan pagar sekolah.
"Selamat pagi" sapanya dengan suara manis.
"Kemarin, kamu telepon saya yah? Sori yah saya sedang pergi dengan Mamaku ke Ancol"
Aku pun langsung memberinya sebuah handphone agar kami dapat berkomunikasi dengan mudah. Pada pertama kalinya ia tidak dapat menerimanya karena handphone itu harganya mahal. Namun setelh kurayu ia menerima juga. Tiba-tiba ia memelukku dan berterima kasih padaku. Wajahnya tersenyum manis. Buah payudara montoknya menempel di dadaku. Penisku langsung berdiri dan tanpa kusadari kedua tanganku otomatis merangkul punggungnya.
"Ih genit ih kamu" katanya setelah merasakan kerasnya batang penisku yang menusuk roknya.
Aku menjadi malu dan melepaskan rangkulanku. Ia lalu mengandeng lenganku dan menarikku ke kelas.
"Äyo cepat, nanti telat loh" katanya. Lalu kami berdua masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Sejak hari itu aku dan Santi makin dekat saja.
Beberapa bulan kemudian sekolah kami mengadakan karya wisata ke taman safari. Aku senang sekali karena aku belum pernah menemui binatang liar sebelumnya di Hongkong. Lalu kami pun naik ke bus dan Santi duduk disampingku sambil mengandeng tanganku. Perjalanan ini seperti honey moon kami saja. Setelah sampai disana aku melihat banyak binatang melalui bus kami. Aku menerima banyak pengalaman seperti dijilat jerapah, dijambak monyet, bahkan memeluk singa. Saat aku melihat Santi memeluk anak harimau wajahnya terlihat makin manis saja. Lalu ia pun mengajakku untuk jalan-jalan ke rumah hantu. Didalam rumah hantu aku menaiki sebuah kereta kecil dan Santi tepat disampingku. Didalamnya sangat gelap. Tiba-tiba muncul hantu pocong disamping Santi. Ia lalu berteriak dan memelukku. Aku pun kaget dan tanpa sengaja mencium bibirnya. Ciuman itu terasa hangat sekali. Yang anehnya adalah ciuman kami tidak lepas pada saat itu. Ciuman yang hangat dinikmati bersama.
Akhirnya kami baru berhenti berciuman dan berpelukan setelah kereta kami hampir keluar dari arena rumah hantu. Saat kami pulang rankulan kami berdua makin mesra di dalam bus, dan sempat digoda teman-teman kami. Saat kami sampai disekolah ia bertanya apakah rumahku dihuni banyak orang. Aku pun menjelaskan bahwa ayahku sedang ada urusan dikantor sehingga ia selalu pulang jam 2 pagi. Lalu ia menanyaiku apakah ia boleh tinggal dirumahku semalam. Aku pun kaget dan grogi. Aku langsung mengiyakan saja. Ia bertambah senang dan menciumku. Lalu kami pulang kerumahku.
Pada mulanya ia hanya bercanda dirumahku dan makan malam. Lalu tiba-tiba ia ingin melihat kamarku. Kamarku agak besar karena ada kamar mandi pribadi didalamnya. Santi lalu meminta ijin untuk mandi sebentar. Aku pun mengiyakan saja. Pada saat ia mandi aku makin terangsang dan akhirnya kuberanikan diriku untuk mengintipnya. Terlihatlah tubuh basah yang indah sekali. Warna kulit coklatnya membuatku terangsang sampai ngiler. Aku pun menelanjangkan diriku dan mencoba untuk beronani. Namun 2 menit kemudian ia sadar bahwa ia sedang di intip.
"Hei, apa yang kamu lakukan?" tanyanya.
Aku terkejut dan baru sadar kalau mulutku sudah penuh liur. Karena sudah tertangkap basah aku langsung memberanikan diriku dan masuk ke kamar mandi. Aku langsung memeluknya dan menciumnya. Ia terkejut dan memberontak, namun setelah agak lama ia tidak memberontak lagi dan memelukku. Payudara montoknya menempel didadaku, penisku berdiri dan kugosok-gosokkan ke vaginanya. Kututup keran air dan kami saling menyabuni tubuh lawan. Sabun yang licin itu membuat tubuh Santi makin bergairah dan enak dielus.
Lalu aku membuka keran air itu lagi dan melanjutkan mandi kami. Setelah bersih aku membuka air hangat dan memenuhi seluruh bak mandi. Aku lalu berbaring diatas bak mandi, sedangkan Santi menindihku dan memelukku. Tubuh kami berada didalam air hangat. Tanganku mengelus-elus pantat dan paha Santi didalam air.
Setelah 20 menit kemudian kami keluar dari air. Santi kugendong sampai ke ranjangku. Lalu aku segera menjilati vaginanya sampai basah semua. Vagianya terasa manis sekali. Aku terus terusan menjilati lubang pantatnya. Setelah puas, lalu kujilati pahanya selama 10 menit. Setelah itu aku mengangkat badannya dan menjilati payudaranya. Putingnya kukulum dengan ganas. Ia berdesah keras. Lalu kami berciuman dan saling bertukar air ludah. Ia mengunyah mulutku dengan ganasnya. Setelah itu dengan posisi duduk, kucumbui vaginanya.
"Ah.. Ah.." desahnya.
Ia duduk dipahaku, kakinya menyilangi punggungku dan tanganya merangkul leherku. Kami melakukan cumbuan dalam posisi tersebut sambil berciuman selama 5 menit. Lalu aku berganti posisi dan mencumbui pantatnya. Dadaku menekan punggungnya dan kedua tanganku meremas-remas dadanya. Buah dadanya terasa hangat dan enak diremas.
Kami melakukan doggy style sampai 20 menit. Lalu aku tidak tahan lagi dan spermaku muncrat didalam pantatnya. Kami berdua berdesah keras sekali. Kami jatuh ke ranjang bersama dan tidur karena sudah lelah. Kami tidur dalam keadaan telanjang.
Pada pagi harinya aku bangun duluan. Lalu badanku terasa tertindih. Ternyata Santi kedinginan dan memelukku erat-erat. Aku membangunkannya dengan kecupan pelan dibibirnya. Tak lama kemudian ia terbangun dan kami melakukan cumbuan untuk kedua kalinya. Lalu setelah itu kami mandi bersama dan berangkat ke sekolah.
E N D
Dulu ayahku adalah anggota triad di daerah Kowloon. Aku sendiri adalah ketua anak brandalan disana. Karena perang triad yang mengakibatkan kematian pada bos ayahku, maka kami sekeluarga harus pindah. Perpindahan ini tidaklah sulit mengingat jumlah keluarga kami yang hanya berdua saja. Pada pertama kalinya aku enggan meninggalkan teman-temanku, namun karena sudah dalam keadaan terdesak, aku hanya bisa menuruti ayahku saja.
Hari ini adalah hari pertama aku pergi ke sekolah. Aku tidak dapat berbicara bahasa Indonesia selancar warga pribumi disini, namun aku akan mencoba sebaik mungkin untuk berbaur dengan teman-teman baru. Saat aku datang ke sekolah aku dipelototi oleh banyak orang karena kulitku berwarna kuning langsat sendiri, sedangkan yang lainnya berwarna kecoklatan. Aku berjalan menuju kesana kemari karena tidak dapat menemukan ruang guru. Aku tidak begitu mahir dalam membaca huruf abjad. Tiba-tiba ada seorang gadis cantik memanggilku dari belakang.
"Hai ada yang bisa saya bantu?" aku terkejut dan melihat ke belakang.
Wajahnya manis sekali dan kulitnya kecoklatan menggoda. Rambutnnya panjang membelai ke bawah. Tinggi badannya sepundakku, dan ia tersenyum manis. Aku menjadi grogi karena jujur saja, aku lebih suka gadis berkulit kecoklatan daripada berkulit putih. Lalu aku pun berkata.
"Teum Ci (yang artinya maaf), saya mau menuju ruang guru" jawabku tersenggat-senggat.
Itulah pertama kalinya aku berbicara dengan menggunakan bahasa asing. Ia tersenyum dan menunjuk ke arah depanku "Itu disana" Lalu bel pun berdering.
"Maaf yah, aku harus masuk kelas sekarang, namaku Santi, senang berkenalan denganmu," katanya lalu ia menjabat tanganku.
Tangannya halus sekali dan aku makin grogi.
"Ngo hai Ng Wai Wan," jawabku.
"Hah? Apa?" tanyanya kebingungan.
"Sorry, Saya Ng Wai Wan" Ia tersenyum lalu lari ke kelasnya.
Akupun segera lari ke ruang yang ia tunjuk itu dan mengetuk pintu itu. Lalu keluarlah guru-guru dan berjalan ke kelas masing-masing. Salah satunya melihatku dan segera menunjukkan ruang pribadi yang ada di ruang guru itu.
"Kamu harus kesana, cepat. Nanti terlambat masuk kelas"
Lalu aku pun berlari ke ruang pribadi itu yang bertulisan ruang kepala sekolah. Aku pun masuk ke sana dan kepala sekolah ngobrol denganku agak lama disana. Aku binggung karena aku sudah telat masuk kelas. Aku bahkan tidak tahu yang mana kelasku. Setelah agak lama ia pun berkata.
"Mari aku antar ke kelasmu. Tenang saja, tidak perlu buru-buru. Kita semua selalu santai-santai dalam melakukan sesuatu. Lambat asal selamat" katanya.
Aku tidak begitu mengerti kata-kata terakhir yang ia ucapkan itu. Lalu aku pun mengikutinya masuk ke kelas baruku. Guruku menyuruhku berdiri disampingnya dan memperkenalkan diriku.
"Saya.. Adalah.. Ng Wai Wan"
Beberapa murid di depanku tertawa karena aksenku yang aneh. Aku menjadi malu. Lalu setelah itu kepala sekolah meninggalkanku, guru disampingk mencoba mencari tempat duduk kosong. Tiba-tiba ada seorang gadis berkata dengan suara keras.
"Duduk disini saja, kosong kok"
Ternyata ia adalah Santi. Wajah manisnya tersenyum dan aku pun menjadi grogi. Guruku menyuruhku duduk di sampingnya. Selama pelajaran berlangsung aku tidak bisa konsentrasi. Mataku terus-terusan terpaku melihat pahanya yang seksi dan mengkilat itu. Lalu tiba-tiba ia menoleh ke samping dan berkata.
"Äda apa?" Aku kaget dan pura-pura bertanya, "Boleh pinjam ini?" tanganku menunjuk ke arah tip-ex dia.
"Boleh," lalu ia memberi tip-exnya padaku.
Aku berpura-pura menip-ex tulisanku dan menulis ulang serta mengembalikan tip-exnya. Tak lama kemudian guruku berkata.
"Tugas ini agak susah, harap kalian membuat grup 4 orang"
Lalu kami pun membuat grup yang terdiri dari 4 orang. Santi menyuruhku duduk di kursinya, dan ia sendiri berpindah ke kursi depan yang di geser ke arah belakang. Dua orang lainnya duduk disampingku dan di samping Santi.
"Halo, aku Tono dan ini temanku Budi" kata kedua orang baru itu.
Aku pun memperkenalkan diri dan merekalah sahabat baruku. Lalu kamipun membuat tugas komputer bersama-sama. Pelajaran komputer sangatlah mudah bagiku, bahkan sudah ketinggalan jaman. Aku menjawab semua soal susah dalam waktu 15 menit. Setelah itu kelompok kami selesai. Kelompok lain menjadi kaget karena mereka membutuhkan waktu 1 jam lebih untuk menyelesaikannya. Karena mempunyai waktu luang yang lama, aku membuka buku pelajaran matematika dan mencoba untuk lebih mengerti rumus-rumus yang susah. Sedangkan semua teman kelompokku sudah santai dan ngobrol.
"Orang Hongkong rajin yah" kata Budi.
"Pintar lagi," kata Tono menyambung.
"Ah tidak juga kok, pelajaran Matematika kalian juga susah. Aku tidak mengerti sama sekali" kataku.
"Yang mana?" kata Santi.
Ia lalu menerangkan bagian yang susah itu padaku. Seragamnya tidak dikancing semua terutama bagian atasnya sehingga aku dapat melihat belahan payudara atasnya yang montok itu dan berwarna kecoklatan. Penisku langsung berdiri dan menabrak meja. Aku langsung memegang penisku itu dan menahan sakit.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Ah tidak apa-apa kok" jawabku.
Anto yang duduk disampingku itu tersenyum karena melihat hal itu. Lalu ia mengajak Budi untuk pergi ke toilet dan meninggalkanku bersama Santi.
"Kami mendukungmu, teman" katanya berbisik padaku.
Penisku makin lama makin berdiri kuat karena aku melihat buah dada itu dan Santi tidak memakai BH pada saat itu. Hari itu adalah hari pertamaku yang membahagiakan. Ternyata aku tidak salah memilih untuk pindah ke Indonesia. Saat aku pulang ke rumah aku segera ganti baju dan membantu ayahku melanjutkan membereskan barang kami. Pada sore hari datanglah teman ayahku dan memperkenalkan 5 pembantu rumah tangga untuk kami sewa. Kami terkejut karena gaji mereka jauh lebih murah dari yang kami bayangkan. Mereka pun pandai memasak.
Pada malam itu setelah saya mengatur kamar tidur saya, saya pun mandi dan siap untuk makan malam. Dimeja kami banyak terdapat makanan kari. Saat aku cicipi rasanya pedas sekali, tapi enak juga. Pembantu kami telah menyiapkan air dingin untuk kami. Setelah makan malam aku menelepon Santi untuk mengajaknya ngobrol sebentar. Yang disayangkan adalah Santi sedang pergi entah kemana. Dia sendiri tidak punya handphone. Malam itu aku tidak bisa tidur karena terus membayangkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
Keesokan harinya aku pergi kesekolah. Ternyata Santi menungguku di depan pagar sekolah.
"Selamat pagi" sapanya dengan suara manis.
"Kemarin, kamu telepon saya yah? Sori yah saya sedang pergi dengan Mamaku ke Ancol"
Aku pun langsung memberinya sebuah handphone agar kami dapat berkomunikasi dengan mudah. Pada pertama kalinya ia tidak dapat menerimanya karena handphone itu harganya mahal. Namun setelh kurayu ia menerima juga. Tiba-tiba ia memelukku dan berterima kasih padaku. Wajahnya tersenyum manis. Buah payudara montoknya menempel di dadaku. Penisku langsung berdiri dan tanpa kusadari kedua tanganku otomatis merangkul punggungnya.
"Ih genit ih kamu" katanya setelah merasakan kerasnya batang penisku yang menusuk roknya.
Aku menjadi malu dan melepaskan rangkulanku. Ia lalu mengandeng lenganku dan menarikku ke kelas.
"Äyo cepat, nanti telat loh" katanya. Lalu kami berdua masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Sejak hari itu aku dan Santi makin dekat saja.
Beberapa bulan kemudian sekolah kami mengadakan karya wisata ke taman safari. Aku senang sekali karena aku belum pernah menemui binatang liar sebelumnya di Hongkong. Lalu kami pun naik ke bus dan Santi duduk disampingku sambil mengandeng tanganku. Perjalanan ini seperti honey moon kami saja. Setelah sampai disana aku melihat banyak binatang melalui bus kami. Aku menerima banyak pengalaman seperti dijilat jerapah, dijambak monyet, bahkan memeluk singa. Saat aku melihat Santi memeluk anak harimau wajahnya terlihat makin manis saja. Lalu ia pun mengajakku untuk jalan-jalan ke rumah hantu. Didalam rumah hantu aku menaiki sebuah kereta kecil dan Santi tepat disampingku. Didalamnya sangat gelap. Tiba-tiba muncul hantu pocong disamping Santi. Ia lalu berteriak dan memelukku. Aku pun kaget dan tanpa sengaja mencium bibirnya. Ciuman itu terasa hangat sekali. Yang anehnya adalah ciuman kami tidak lepas pada saat itu. Ciuman yang hangat dinikmati bersama.
Akhirnya kami baru berhenti berciuman dan berpelukan setelah kereta kami hampir keluar dari arena rumah hantu. Saat kami pulang rankulan kami berdua makin mesra di dalam bus, dan sempat digoda teman-teman kami. Saat kami sampai disekolah ia bertanya apakah rumahku dihuni banyak orang. Aku pun menjelaskan bahwa ayahku sedang ada urusan dikantor sehingga ia selalu pulang jam 2 pagi. Lalu ia menanyaiku apakah ia boleh tinggal dirumahku semalam. Aku pun kaget dan grogi. Aku langsung mengiyakan saja. Ia bertambah senang dan menciumku. Lalu kami pulang kerumahku.
Pada mulanya ia hanya bercanda dirumahku dan makan malam. Lalu tiba-tiba ia ingin melihat kamarku. Kamarku agak besar karena ada kamar mandi pribadi didalamnya. Santi lalu meminta ijin untuk mandi sebentar. Aku pun mengiyakan saja. Pada saat ia mandi aku makin terangsang dan akhirnya kuberanikan diriku untuk mengintipnya. Terlihatlah tubuh basah yang indah sekali. Warna kulit coklatnya membuatku terangsang sampai ngiler. Aku pun menelanjangkan diriku dan mencoba untuk beronani. Namun 2 menit kemudian ia sadar bahwa ia sedang di intip.
"Hei, apa yang kamu lakukan?" tanyanya.
Aku terkejut dan baru sadar kalau mulutku sudah penuh liur. Karena sudah tertangkap basah aku langsung memberanikan diriku dan masuk ke kamar mandi. Aku langsung memeluknya dan menciumnya. Ia terkejut dan memberontak, namun setelah agak lama ia tidak memberontak lagi dan memelukku. Payudara montoknya menempel didadaku, penisku berdiri dan kugosok-gosokkan ke vaginanya. Kututup keran air dan kami saling menyabuni tubuh lawan. Sabun yang licin itu membuat tubuh Santi makin bergairah dan enak dielus.
Lalu aku membuka keran air itu lagi dan melanjutkan mandi kami. Setelah bersih aku membuka air hangat dan memenuhi seluruh bak mandi. Aku lalu berbaring diatas bak mandi, sedangkan Santi menindihku dan memelukku. Tubuh kami berada didalam air hangat. Tanganku mengelus-elus pantat dan paha Santi didalam air.
Setelah 20 menit kemudian kami keluar dari air. Santi kugendong sampai ke ranjangku. Lalu aku segera menjilati vaginanya sampai basah semua. Vagianya terasa manis sekali. Aku terus terusan menjilati lubang pantatnya. Setelah puas, lalu kujilati pahanya selama 10 menit. Setelah itu aku mengangkat badannya dan menjilati payudaranya. Putingnya kukulum dengan ganas. Ia berdesah keras. Lalu kami berciuman dan saling bertukar air ludah. Ia mengunyah mulutku dengan ganasnya. Setelah itu dengan posisi duduk, kucumbui vaginanya.
"Ah.. Ah.." desahnya.
Ia duduk dipahaku, kakinya menyilangi punggungku dan tanganya merangkul leherku. Kami melakukan cumbuan dalam posisi tersebut sambil berciuman selama 5 menit. Lalu aku berganti posisi dan mencumbui pantatnya. Dadaku menekan punggungnya dan kedua tanganku meremas-remas dadanya. Buah dadanya terasa hangat dan enak diremas.
Kami melakukan doggy style sampai 20 menit. Lalu aku tidak tahan lagi dan spermaku muncrat didalam pantatnya. Kami berdua berdesah keras sekali. Kami jatuh ke ranjang bersama dan tidur karena sudah lelah. Kami tidur dalam keadaan telanjang.
Pada pagi harinya aku bangun duluan. Lalu badanku terasa tertindih. Ternyata Santi kedinginan dan memelukku erat-erat. Aku membangunkannya dengan kecupan pelan dibibirnya. Tak lama kemudian ia terbangun dan kami melakukan cumbuan untuk kedua kalinya. Lalu setelah itu kami mandi bersama dan berangkat ke sekolah.
E N D
Andani Citra: Montir-Montir Perkasa
Hari itu, sekitar jam tiga sore aku bersama sepupuku, Ellen baru saja sampai di rumahnya setelah jalan-jalan di mall. Setengah jam kami disana nonton VCD sampai pacarnya yang bernama Winston datang. Memang sih hari itu aku bermain ke sini agar bisa sekalian sorenya mengambil mobilku yang sedang di service rutin di sebuah bengkel di daerah Jakarta Timur yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah Ellen. Pas sekali saat itu Winston datang untuk nge-date jadi aku bisa ikut menumpang diantar ke bengkel itu.
Kamipun berangkat dari rumahnya dengan mobil BMW-nya Winston. Walaupun tidak terlalu jauh namun kami sedikit terjebak macet karena saat itu jam bubaran. Yang kukhawatirkan adalah takutnya bengkelnya keburu tutup, kalau begitu kan aku mau tidak mau harus tetap menumpang pada Winston padahal mereka mau pergi nonton dan aku tidak mau mengganggu kebersamaan mereka. Akhirnya tiba juga kami di bengkel itu tepat ketika akan tutup.
"Wah.. Sudah mau tutup tuh Ci, mendingan cepetan lari turun, siapa tahu masih keburu," kata Ellen.
"Tanyain dulu Ci, kita tunggu kamu di sini, kalau ternyata belum bisa ambil, kamu ikut kita jalan aja," Winston memberi saran.
Akupun segera turun dan setengah berlari ke arah pegawai yang sedang mendorong pintu.
"Mas.. Mas tunggu, jangan ditutup dulu, saya mau ngambil mobil saya yang Hyundai warna merah yang dititip kemarin Selasa itu loh!" kataku dengan terburu-buru.
"Tapi kita sudah mau tutup non, kalau mau besok balik aja lagi," katanya.
"Ayo dong, Mas katanya di telepon tadi sudah bisa diambil, tolong dong bentar aja yah, saya sudah ke sini jauh-jauh nih!" desakku.
"Ada apa nih, Kos, kok malah ngobrol," kata seorang pria yang muncul dari samping belakangnya.
Kebetulan sekali pria itu adalah montir yang menangani mobilku ketika aku membawa mobil itu ke sini, orangnya tinggi dan agak gemuk dengan rambut gaya tentara, usianya sekitar awal empat puluh, belakangan kuketahui bernama Fauzan, agaknya dia tergolong montir yang cukup senior di sini.
Akupun lalu mengutarakan maksud kedatanganku ke sini untuk mengambil mobilku itu padanya. Awalnya sih dia juga menyuruhku kembali lagi besok karena bengkel sudah tutup, tapi karena terus kubujuk dan kujanjikan bonus uang rokok akhirnya dia menyerah juga dan mempersilakanku masuk menunggu di dalam. Sebenarnya sih kalau bengkelnya dekat dengan rumahku aku juga bisa saja kembali besok, tapi masalahnya letak tempat ini cukup jauh dari rumahku dan macet pula, kan BT banget kalau harus dua kali jalan.
Aku melambaikan tangan ke arah Ellen dan Winston yang menunggu di mobil pertanda masalah sudah beres dan mereka boleh pergi, merekapun membalas lambaianku dan mobil itu berjalan meninggalkanku. Pak Fauzan menjelaskan padaku tentang kondisi mobilku, dia bilang bahwa semuanya ok-ok saja, kecuali ada sebuah onderdil di bagian bawah mobil yang sebentar lagi tidak layak pakai karena sudah banyak berkarat (sory.. Aku tidak mengerti otomotif selain menggunakannya, sampai lupa nama onderdil itu). Karena memikirkan kenyamanan jangka panjang, aku menanyakan kalau bagian itu diganti sekarang memakan waktu lama tidak, ongkos sih tidak masalah. Setelah berpikir sesaat dia pun mengiyakannya dan menyuruhku duduk menunggu.
Sejumlah pegawai dan kasir wanita sudah berjalan ke pintu keluar meninggalkan tempat ini. Di ruangan yang cukup luas ini tinggallah aku dengan Pak Fauzan serta beberapa montir yang sedang menyelesaikan pekerjaan yang tanggung. Seluruhnya ada empat orang di ruangan ini termasuk aku yang satu-satunya wanita.
"Masih banyak kerjaannya ya Mas?" tanyaku iseng-iseng pada montir brewok di dekatku yang sedang mengotak-atik mesin depan sebuah Kijang.
"Dikit lagi kok Non, makanya mending diselesaikan sekarang biar besoknya lebih santai," jawabnya sambil terus bekerja.
Tidak jauh dari tempat dudukku Pak Fauzan sedang berjongkok di sebelah mobilku dan di sebelahnya seorang rekannya yang cuma kelihatan kakinya sedang berbaring mengerjakan perkerjaannya di kolong mobil. Ternyata pekerjaan itu lama juga selesainya, seperempat jam sudah aku menunggu. Melihat situasi seperti ini, timbullah pikiran isengku untuk menggoda mereka. Hari itu aku memakai kaos ketat oranye berlengan panjang yang dadanya agak rendah, lekuk tubuhku tercetak oleh pakaian seperti itu, bawahnya aku memakai rok hitam yang menggantung beberapa senti di atas lutut. Maka bukanlah hal yang aneh kalau para pria itu di tengah kesibukannya sering mencuri-curi pandang ke arahku, apalagi sesekali aku sengaja menyilangkan kakiku.
Aku berjalan ke arah mobilku dan bertanya pada Pak Fauzan, "Masih lama ya Pak?"
"Hampir Non, ini yang susah tuh melepas yang lamanya, habis sudah berkarat, sebenarnya sih pasangnya gampang saja, bentar lagi juga beres kok"
"Perlu saya bantuin enggak? Bosen dari tadi nunggu terus," tanyaku sambil dengan sengaja berjongkok di hadapannya dengan lutut kiri bertumpu di lantai sehingga otomatis paha putih mulusku tersingkap kemana-mana dan celana dalam merahku juga terlihat jelas olehnya.
Dia terlihat gugup dan matanya tertumbuk ke bawah rokku yang kelihatan karena posisi jongkokku. Aku yakin burungnya pasti sudah terbangun dan memberontak ingin lepas dari sangkarnya. Namun aku bersikap biasa saja seolah tidak mengetahui sedang diintip.
"Oohh.. Nggak.. Nggak kok Non," jawabnya terbata-bata.
"Hhoii.. Obeng kembang dong," sahut montir yang dari dalam sambil mendorong kursi berbaringnya keluar dari kolong.
Begitu keluar diapun ikut terperangah dengan pemandangan indah di atas wajahnya itu. Keduanya bengong menatapku tanpa berkedip.
"Kenapa? Kok bengong? Liatin apa hayo..?" godaku dengan tersenyum nakal.
Kemudian kuraih tangan si montir yang sedang berbaring itu dan kuletakkan di paha mulusku, memang sih tangannya kotor karena sedang bekerja tapi saat itu sudah tidak terpikir hal itu lagi. Tanpa harus disuruh lagi tangan kasar itu sudah bergerak dengan sendirinya mengelus pahaku hingga sampai di pangkalnya, disana dia tekankan dua jarinya di bagian tengah kemaluanku yang masih tertutup CD.
"Ooohh.. " desahku merasakan remasan pada kemaluanku.
Pak Fauzan menyuruhku berdiri dan didekapnya tubuhku serta langsung menempelkan bibirnya yang tebal dan kasar pada bibir mungilku. Tangannya mengangkat rokku dan menyusup ke dalam celana dalamku. Temannya tidak mau ketinggalan, setelah dia mengelap tangannya dia dekap aku dari belakang dan mulai menciumi leher jenjangku, hembusan nafas dan lidahnya yang menggelikitik membuat birahiku semakin naik. Payudaraku yang masih tertutup baju diremasi dari belakang, tak lama kemudian kaos Mango-ku beserta bra-ku sudah disingkap ke atas. Kedua belah payudaraku digerayangi dengan gemas, putingnya terasa makin mengeras karena terus dipencet-pencet dan dipilin-pilin.
"Hei, ngapain tuh, kok nggak ngajak-ngajak!" seru si montir brewok yang memergoki kami sedang berasyik-masyuk.
Montir di belakangku melambai dan memanggil si brewok untuk ikut menikmati tubuhku. Si brewok pun dengan girang menghampiri kami sambil mempreteli kancing baju montirnya, kurang dari selangkah di dekatku dia membuka seluruh pakaiannya.
Wow.. Bodynya padat berisi dengan dada bidang berbulu dan bulunya turun saling menyambung dengan bulu kemaluannya. Dan yang lebih membuatku terpesona adalah bagian yang mengacung tegak di bawah perutnya, pasti tak terlukiskan rasanya ditusuk benda sebesar pisang raja itu, warnanya hitam dengan kepala penis kemerahan. Dia berjongkok di depanku dan memelorotkan rok dan celana dalamku.
"Wah, asyik jembutnya item lebat banget, gua paling suka vagina kaya gini," si brewok mengomentari vaginaku.
Pak Fauzan dan temannya pun mulai melepasi pakaiannya masing-masing hingga bugil. Terlihatlah batang-batang mereka yang sudah menegang, namun aku tetap lebih suka milik si brewok karena nampak lebih menggairahkan, milik Pak Fauzan juga besar dan berisi, namun tidak terlalu berurat dan sekeras si brewok, sedangkan punya temannya lumayan panjang, tapi biasa saja, standarnya pribumi Indonesialah. Aku sendiri tinggal memakai kaos ketat dan bra-ku yang sudah tersingkap.
Kaki kiriku diangkat ke bahu si brewok yang berjongkok sambil melumat vaginaku. Teman Pak Fauzan yang dipanggil 'Zul' itu menopang tubuhku dengan mendekap dari belakang, tangannya terus beraktivitas meremas payudara dan pantatku sambil memainkan lidahnya di lubang telingaku. Pak Fauzan sendiri kini sedang menetek dari payudara kananku. Aku menggelinjang dahsyat dan mendesah tak karuan diserbu dari berbagai arah seperti itu. Tanganku menggenggam penis Pak Fauzan dan mengocoknya perlahan.
"Oookkhh.. Jangan terlalu keras," rintihku sambil meringis ketika Pak Fauzan dengan gemas menggigiti putingku dan menariknya dengan mulut, secara refleks tanganku menjambak pelan rambutnya.
Sementara si brewok di bawah sana menyedoti dalam-dalam vaginaku seolah mau ditelan. Dia memasukkan lidahnya ke dalam vaginaku sehingga memberi sensasi geli yang luar biasa padaku, klitorisku juga dia gigit pelan dan digelikitik dengan lidahnya. Pokoknya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata betapa nikmatnya saat itu, jauh lebih nikmat dari mabuk anggur manis. Aku menengokkan wajah ke samping untuk menyambut Zul yang mau melumat mulutku. Lihai juga dia berciuman, lidahnya menjilati lidahku dan menelusuri rongga mulutku, nafasku seperti mau habis rasanya.
Kemudian mereka membaringkanku di kursi untuk berbaring di kolong mobil itu (whateverlah namanya aku tidak tahu nama barang itu ^_^;). Zul langsung mengambil posisi di selangkanganku, tapi segera dicegah oleh Pak Fauzan yang menginginkan jatah lubang lebih dulu. Setelah dibujuk-bujuk Zul pun akhirnya mengalah dari Pak Fauzan yang lebih senior itu. Sebagai gantinya dia mengambil posisi di dekat kepalaku dan menyodorkan penisnya padaku. Kumulai dengan menjilati batang itu hingga basah, lalu buah zakarnya kuemut-emut sambil mengocok batangnya.
Walaupun agak bau tapi aku sangat menikmati oral seks itu, aku senang membuatnya mengerang nikmat ketika kujilati lubang kencing dan kepala penisnya. Pak Fauzan yang sudah selesai dengan pemanasan dengan menggesekkan penisnya pada bibir vaginaku kini sudah mengarahkan penisnya ke liang senggamaku. Aku menjerit kecit ketika benda itu menyeruak masuk dengan sedikit kasar, selanjutnya dia menggenjotku dengan gerakan buas. Aku meresapi setiap detil kenikmatan yang sedang menyelubungi tubuhku, semakin bersemangat pula aku mengemut penis si Zul, kumainkan lidahku di sekujur penis itu untuk menambah kenikmatan pemiliknya. Dia mengerang keenakan atas perlakuanku yang memanjakan 'adik kecil'nya.
Rambutku diremas-remas sambil berkata, "Oooh.. Terus Non, enak banget.. Yahh!"
Tanganku yang lain tidak tinggal diam ikut mengocok punya si brewok yang pada saat yang sama sedang melumat payudaraku. Dia sangat menikmati setiap jengkal payudaraku, dia menghisapnya kuat-kuat diselingi gigitan-gigitan yang meninggalkan jejak merah di kulitnya yang putih. Sungguh kagum aku dengan penisnya dalam genggamanku, yang benar-benar keras dan perkasa membuatku tidak sabar ingin segera mencicipinya. Maka aku melepaskan emutanku pada penis Zul dan berkata pada si brewok,
"Sini dong Mas, gua mau nyepong kontolnya!"
Si brewok langsung menggantikan Zul dan menyodorkan penisnya padaku. Hmm.. Inilah yang kutunggu-tunggu, aku langsung membuka lebar-lebar mulutku untuk memasukkan benda itu. Tentu saja tidak muat seluruhnya di mulut mungilku malah terasa sesak. Si Zul menggosok-gosokkan penisnya yang basah ke wajahku. Sambil dioral, tangan si brewok yang kasar dan berbulu itu meremasi payudaraku dengan brutal. Di sisi lain, Pak Fauzan melepaskan sepatu bersol tinggi yang kupakai, lalu menaikkan kedua tungkaiku ke bahu kirinya, sambil menggenjot dia juga menjilati betisku yang mulus. Aku benar-benar terbuai oleh kenikmatan main keroyok seperti ini.
Tiba-tiba kami terhenti sejenak karena terdengar suara pintu di buka dari dalam dan keluarlah seorang yang hanya memakai singlet dan celana pendek, tubuhnya agak kurus dan berusia sepantaran dengan Pak Fauzan dengan jenggot seperti kambing. Aku mencoba mengingat-ingat orang ini, sepertinya pernah lihat sebelumnya, oohh.. Iya itu kan montir yang mendengar dan mencatat masalah yang kuceritakan tentang mobilku ketika aku membawanya ke sini. Sepertinya dia baru mandi karena rambutnya masih basah dan acak-acakan. Sebelumnya dia agak terperanjat dengan apa yang dia lihat tapi kemudian dia mendekati kami.
"Weleh-weleh.. Gua sibuk cuci baju di belakang, kamu-kamu malah pada enak-enakan ngentot," katanya "Lho, ini kan si Non cantik yang mobilnya diservis itu!"
"Sudah jangan banyak omong, mau ikutan nggak!" kata si brewok padanya.
Buru-buru si montir yang bernama Joni itu melepaskan celananya dan kulihat penisnya bagus juga bentuknya, besar dengan otot yang melingkar-lingkar. Tiga saja belum selesai sudah datang satu lagi, tambah berat deh PR gua, demikian kataku dalam hati. Pak Joni mengambil posisi di sebelah kananku, tangannya menjelajah kemana-mana seakan takut tidak kebagian tempat. Payudara kananku dibetot dan dilumat olehnya sampai terasa nyeri. Aku mengerang sejadi-jadinya antara kesakitan dan kenikmatan, semakin lama semakin liar dan tak terkendali.
Pak Fauzan dibawah sana makin mempercepat frekuensi genjotannya pada vaginaku. Lama-lama aku tidak sanggup lagi menahan cairan cintaku yang semakin membanjir. Di ambang puncak aku semakin berkelejotan dan tanganku semakin kencang mengocok dua batang penis di genggamanku yaitu milik Pak Joni dan Bang Zul. Zul juga menggeram makin keras dan Crot.. Crot.. Cairan putih kentalnya menyemprot dan berceceran di wajah dan rambutku. Sementara otot-otot kemaluanku berkontraksi makin cepat dan cairan cintaku pun tak terbendung lagi. Aku telah mencapai puncak, tubuhku mengejang hebat diiringi erangan panjang dari mulutku, tapi dia masih terus menggenjotku hingga tubuhku melemas kembali. Setelah dia cabut penisnya, diturunkannya juga kakiku.
"Gantian tuh, siapa mau memek?" katanya.
Si brewok langsung menggantikan posisinya, sebelumnya dia menjilati dan menyedot cairan vaginaku dengan rakus bagaikan menyantap semangka. Pak Fauzan menaiki dadaku dan menjepitkan penisnya yang sudah licin diantara payudaraku. Dia memaju-mundurkannya seperti yang dia lakukan terhadap vaginaku, tidak sampai lima menit, spermanya muncrat ke muka dan dadaku, kaosku yang tergulung juga ikut kecipratan cairan itu. Pak Fauzan mengelap spermanya yang berceceran di dadaku sampai merata sehingga payudaraku nampak mengkilap oleh cairan itu. Kujilati sperma di sekitar bibirku dengan memutar lidah.
Si brewok minta ganti gaya, kali ini dia berbaring di kursi montir. Tanpa diperintah aku menurunkan tubuhnya sambil membuka lebar liang senggamaku dengan jari. Tanganku yang lain membimbing batang itu memasuki liang itu. Aku menggigit bibir dan mendesis saat penis itu mulai tertancap di vaginaku. Hingga akhirnya seluruh batang itu tertelan oleh liang surgaku, rasanya sangat sesak dan sedikit nyeri dijejali benda sekeras dan sebesar itu, aku dapat merasakan urat-uratnya yang menonjol itu bergesekan dengan dinding vaginaku.
Aku belum sempat beradaptasi, dia sudah menyentakkan pinggulnya ke atas, secara refleks aku menjerit kecil. Sekali lagi dia sentakkan pinggulnya ke atas sampai akupun ikut menggoyangkan tubuhku naik-turun. Mataku merem-melek dan kadang-kadang tubuhku meliuk-liuk saking nikmatnya. Kuraih penis Pak Joni di sebelah kiriku dan kukulum dengan bernafsu, begitu juga dengan penis Pak Fauzan, batang yang sedang kelelahan itu kukocok-kocok agar bertenaga lagi, sisa-sisa spermanya kujilati hingga bersih. Kurasakan ada dua jari memasuki anusku, mengoreki lalu bergerak keluar-masuk di sana, aku menengok ke belakang ternyata pelakunya Bang Zul yang entah kapan sudah di belakangku.
Mungkin karena ketagihan dikaraoke olehku, Pak Joni memegangi kepalaku dan menekannya pada selangkangannya, lalu dia maju-mundurkan pinggulnya seperti sedang bersenggama. Aku sempat gelagapan dibuatnya, kepala penis itu pernah menyentuh tekakku sampai hampir tersedak. Namun hal itu tidak mengurangi keaktifanku menggoyang tubuhku dan mengocok penis Pak Fauzan dengan tangan kiriku. Payudaraku yang ikut bergoyang naik-turun tidak pernah sepi dari jamahan tangan-tangan kasar mereka.
Sepertinya Bang Zul mau main belakang karena dia melebarkan duburku dengan jarinya dan sejenak kemudian aku merasakan benda tumpul yang tak lain kepala penisnya melesak masuk ke dalamnya. Ketiga lubang senggamaku penuh sudah terisi oleh tiga penis. Penis Pak Joni dalam mulutku makin bergetar dan pemiliknya pun makin gencar menyodok-nyodokkannya pada mulutku hingga akhirnya menyemprotkan spermanya di mulutku. Belum habis semprotannya dia menarik keluar benda itu (thank god, akhirnya bisa menghirup udara segar lagi) sehingga sisanya menyemprot ke wajahku, wajahku yang sudah basah oleh sperma Bang Zul dan Pak Fauzan jadi tambah belepotan oleh spermanya yang lebih kental dari milik dua orang sebelumnya.
"Aahh.. Aahh.. Dikit lagi Bang!" desahku karena sudah akan klimaks lagi.
Cairan cinta terasa terus mengucur membasahi rongga-rongga kemaluanku bersamaan dengan penis si brewok yang terasa makin membengkak dan sodokannya yang makin gencar. Otot-ototku menegang dan desahan panjang keluar dari mulutku akibat orgasme panjang bersama si brewok. Cairan hangat dan kental menyemprot hampir semenit lamanya di dalam lubang vaginaku. Akhirnya tubuhku kembali melemas dan jatuh telungkup di atas dada yang bidang berbulu itu dengan penis masih menancap, sementara dari belakang Bang Zul masih getol menyodomiku tanpa mempedulikan kondisiku sampai dia menumpahkan spermanya di anusku lima menit kemudian. Setelah beristirahat lima menit, Pak Fauzan mengangkat tubuhku diatas kedua tangannya dan membawaku ke ruangan lain yang adalah tempat pencucian mobil bersama teman-temannya.
"Eh, mau ngapain lagi kita nih Pak?" tanyaku heran.
"Kita mau mencuci Non dulu soalnya sudah lengket dan bau peju sih," jawabnya sambil nyengir, kemudian memerintah si brewok untuk menyiapkan selang air.
Pelan-pelan dia turunkan aku, tapi aku masih belum sanggup berdiri karena masih lemas sekali, jadi aku hanya duduk bersimpuh saja di lantai marmer itu.
"Bajunya dilepas aja Non biar nggak basah," katanya sambil membantuku melepaskan kaosku yang tergulung.
Aku kini telah telanjang bulat, hanya jam tangan, anting, dan seuntai kalung perak dengan leontin huruf C yang masih tersisa di tubuhku. Si brewok menyalakan krannya dan mengarahkan selang itu padaku.
"Awww.. Dingin!" desahku manja merasakan dinginnya air yang menyemprot padaku.
Pak Joni melepaskan singletnya dan bersama dua orang lainnya mendekati tubuhku yang masih disemprot si brewok, ketiganya mengerubungi tubuhku sambil tertawa-tawa. Aku lalu diberdirikan dan didekap mereka, tangan-tangan mereka menggosoki tubuhku untuk membasuh ceceran sperma yang lengket di sekujur tubuhku seperti sedang memolesi mobil dengan cairan pembersih.
Beberapa menit lamanya si brewok menyirami kami dengan air dingin sehingga tubuh kami basah kuyup. Sesudah itu dia juga ikut bergabung menggerayangiku. Pak Joni mendekapku dari depan, setelah puas menciumi dan meremas payudaraku dia menaikkan kaki kananku ke pinggangnya dan memasukkan penisnya ke vaginaku, mereka mengerjaiku dalam posisi berdiri. Pak Fauzan merangkulku dari belakang dan tak henti-hentinya mencupangi pundak, leher dan tengukku. Bang Zul berjongkok meremasi dan menjilati pantat montokku yang terangkat dengan gemasnya.
Si brewok menggerayangi payudaraku yang lain sambil menggelitik telingaku dengan lidahnya. Desahan nikmatku terdengar memenuhi ruangan itu. Beberapa menit kemudian Pak Joni klimaks dan menumpahkan spermanya di dalam vaginaku. Ini masih belum berakhir, karena setelahnya tubuhku mereka telentangkan di atas kap depan sebuah sedan berwarna silver metalik dan kembali aku disemprot dengan selang air hingga semakin basah.
Bang Zul membentangkan pahaku dan menancapkan penisnya ke vaginaku. Mungkin karena sudah terisi penuh, maka ketika penis itu melesak ke dalamku, nampak sperma kental itu meluap keluar dari sela-sela bibir vaginaku. Aku kembali orgasme yang kesekian kalinya, tubuhku menggelinjang di atas kap mobil itu. Kemudian tak lama kemudian dia pun mencabut penisnya dan menumpahkan isinya di atas perut rataku. Akhirnya selesai juga mereka mengerjaiku, aku terbaring lemas diatas kap, rasanya pegal sekali dan sedikit kedinginan karena basah.
Mereka juga sudah kecapean semua, ada yang duduk mengatur nafas, ada juga yang mengelap badannya yang basah. Pak Fauzan memberiku sebuah Aqua gelas dan handuk kering. Aku menggerakkan tangan menghanduki tubuhku yang basah. Setelah Pak Fauzan dan Bang Zul selesai memasang onderdil yang tertunda, selesai pula perbaikan mobilku. Aku membayarkan biayanya pada Pak Fauzan yang ternyata masih saudara dengan pemilik bengkel ini, pantas dari tadi montir lain tunduk padanya. Aku juga memberi tambahan sepuluh ribu rupiah sebagai uang rokok untuk dibagi antara mereka berempat. Sampai di rumah aku langsung tidur dengan tubuh pegal-pegal, janji ke kafe dengan teman-teman pun terpaksa kubatalkan dengan alasan tidak enak badan.
E N D
Kamipun berangkat dari rumahnya dengan mobil BMW-nya Winston. Walaupun tidak terlalu jauh namun kami sedikit terjebak macet karena saat itu jam bubaran. Yang kukhawatirkan adalah takutnya bengkelnya keburu tutup, kalau begitu kan aku mau tidak mau harus tetap menumpang pada Winston padahal mereka mau pergi nonton dan aku tidak mau mengganggu kebersamaan mereka. Akhirnya tiba juga kami di bengkel itu tepat ketika akan tutup.
"Wah.. Sudah mau tutup tuh Ci, mendingan cepetan lari turun, siapa tahu masih keburu," kata Ellen.
"Tanyain dulu Ci, kita tunggu kamu di sini, kalau ternyata belum bisa ambil, kamu ikut kita jalan aja," Winston memberi saran.
Akupun segera turun dan setengah berlari ke arah pegawai yang sedang mendorong pintu.
"Mas.. Mas tunggu, jangan ditutup dulu, saya mau ngambil mobil saya yang Hyundai warna merah yang dititip kemarin Selasa itu loh!" kataku dengan terburu-buru.
"Tapi kita sudah mau tutup non, kalau mau besok balik aja lagi," katanya.
"Ayo dong, Mas katanya di telepon tadi sudah bisa diambil, tolong dong bentar aja yah, saya sudah ke sini jauh-jauh nih!" desakku.
"Ada apa nih, Kos, kok malah ngobrol," kata seorang pria yang muncul dari samping belakangnya.
Kebetulan sekali pria itu adalah montir yang menangani mobilku ketika aku membawa mobil itu ke sini, orangnya tinggi dan agak gemuk dengan rambut gaya tentara, usianya sekitar awal empat puluh, belakangan kuketahui bernama Fauzan, agaknya dia tergolong montir yang cukup senior di sini.
Akupun lalu mengutarakan maksud kedatanganku ke sini untuk mengambil mobilku itu padanya. Awalnya sih dia juga menyuruhku kembali lagi besok karena bengkel sudah tutup, tapi karena terus kubujuk dan kujanjikan bonus uang rokok akhirnya dia menyerah juga dan mempersilakanku masuk menunggu di dalam. Sebenarnya sih kalau bengkelnya dekat dengan rumahku aku juga bisa saja kembali besok, tapi masalahnya letak tempat ini cukup jauh dari rumahku dan macet pula, kan BT banget kalau harus dua kali jalan.
Aku melambaikan tangan ke arah Ellen dan Winston yang menunggu di mobil pertanda masalah sudah beres dan mereka boleh pergi, merekapun membalas lambaianku dan mobil itu berjalan meninggalkanku. Pak Fauzan menjelaskan padaku tentang kondisi mobilku, dia bilang bahwa semuanya ok-ok saja, kecuali ada sebuah onderdil di bagian bawah mobil yang sebentar lagi tidak layak pakai karena sudah banyak berkarat (sory.. Aku tidak mengerti otomotif selain menggunakannya, sampai lupa nama onderdil itu). Karena memikirkan kenyamanan jangka panjang, aku menanyakan kalau bagian itu diganti sekarang memakan waktu lama tidak, ongkos sih tidak masalah. Setelah berpikir sesaat dia pun mengiyakannya dan menyuruhku duduk menunggu.
Sejumlah pegawai dan kasir wanita sudah berjalan ke pintu keluar meninggalkan tempat ini. Di ruangan yang cukup luas ini tinggallah aku dengan Pak Fauzan serta beberapa montir yang sedang menyelesaikan pekerjaan yang tanggung. Seluruhnya ada empat orang di ruangan ini termasuk aku yang satu-satunya wanita.
"Masih banyak kerjaannya ya Mas?" tanyaku iseng-iseng pada montir brewok di dekatku yang sedang mengotak-atik mesin depan sebuah Kijang.
"Dikit lagi kok Non, makanya mending diselesaikan sekarang biar besoknya lebih santai," jawabnya sambil terus bekerja.
Tidak jauh dari tempat dudukku Pak Fauzan sedang berjongkok di sebelah mobilku dan di sebelahnya seorang rekannya yang cuma kelihatan kakinya sedang berbaring mengerjakan perkerjaannya di kolong mobil. Ternyata pekerjaan itu lama juga selesainya, seperempat jam sudah aku menunggu. Melihat situasi seperti ini, timbullah pikiran isengku untuk menggoda mereka. Hari itu aku memakai kaos ketat oranye berlengan panjang yang dadanya agak rendah, lekuk tubuhku tercetak oleh pakaian seperti itu, bawahnya aku memakai rok hitam yang menggantung beberapa senti di atas lutut. Maka bukanlah hal yang aneh kalau para pria itu di tengah kesibukannya sering mencuri-curi pandang ke arahku, apalagi sesekali aku sengaja menyilangkan kakiku.
Aku berjalan ke arah mobilku dan bertanya pada Pak Fauzan, "Masih lama ya Pak?"
"Hampir Non, ini yang susah tuh melepas yang lamanya, habis sudah berkarat, sebenarnya sih pasangnya gampang saja, bentar lagi juga beres kok"
"Perlu saya bantuin enggak? Bosen dari tadi nunggu terus," tanyaku sambil dengan sengaja berjongkok di hadapannya dengan lutut kiri bertumpu di lantai sehingga otomatis paha putih mulusku tersingkap kemana-mana dan celana dalam merahku juga terlihat jelas olehnya.
Dia terlihat gugup dan matanya tertumbuk ke bawah rokku yang kelihatan karena posisi jongkokku. Aku yakin burungnya pasti sudah terbangun dan memberontak ingin lepas dari sangkarnya. Namun aku bersikap biasa saja seolah tidak mengetahui sedang diintip.
"Oohh.. Nggak.. Nggak kok Non," jawabnya terbata-bata.
"Hhoii.. Obeng kembang dong," sahut montir yang dari dalam sambil mendorong kursi berbaringnya keluar dari kolong.
Begitu keluar diapun ikut terperangah dengan pemandangan indah di atas wajahnya itu. Keduanya bengong menatapku tanpa berkedip.
"Kenapa? Kok bengong? Liatin apa hayo..?" godaku dengan tersenyum nakal.
Kemudian kuraih tangan si montir yang sedang berbaring itu dan kuletakkan di paha mulusku, memang sih tangannya kotor karena sedang bekerja tapi saat itu sudah tidak terpikir hal itu lagi. Tanpa harus disuruh lagi tangan kasar itu sudah bergerak dengan sendirinya mengelus pahaku hingga sampai di pangkalnya, disana dia tekankan dua jarinya di bagian tengah kemaluanku yang masih tertutup CD.
"Ooohh.. " desahku merasakan remasan pada kemaluanku.
Pak Fauzan menyuruhku berdiri dan didekapnya tubuhku serta langsung menempelkan bibirnya yang tebal dan kasar pada bibir mungilku. Tangannya mengangkat rokku dan menyusup ke dalam celana dalamku. Temannya tidak mau ketinggalan, setelah dia mengelap tangannya dia dekap aku dari belakang dan mulai menciumi leher jenjangku, hembusan nafas dan lidahnya yang menggelikitik membuat birahiku semakin naik. Payudaraku yang masih tertutup baju diremasi dari belakang, tak lama kemudian kaos Mango-ku beserta bra-ku sudah disingkap ke atas. Kedua belah payudaraku digerayangi dengan gemas, putingnya terasa makin mengeras karena terus dipencet-pencet dan dipilin-pilin.
"Hei, ngapain tuh, kok nggak ngajak-ngajak!" seru si montir brewok yang memergoki kami sedang berasyik-masyuk.
Montir di belakangku melambai dan memanggil si brewok untuk ikut menikmati tubuhku. Si brewok pun dengan girang menghampiri kami sambil mempreteli kancing baju montirnya, kurang dari selangkah di dekatku dia membuka seluruh pakaiannya.
Wow.. Bodynya padat berisi dengan dada bidang berbulu dan bulunya turun saling menyambung dengan bulu kemaluannya. Dan yang lebih membuatku terpesona adalah bagian yang mengacung tegak di bawah perutnya, pasti tak terlukiskan rasanya ditusuk benda sebesar pisang raja itu, warnanya hitam dengan kepala penis kemerahan. Dia berjongkok di depanku dan memelorotkan rok dan celana dalamku.
"Wah, asyik jembutnya item lebat banget, gua paling suka vagina kaya gini," si brewok mengomentari vaginaku.
Pak Fauzan dan temannya pun mulai melepasi pakaiannya masing-masing hingga bugil. Terlihatlah batang-batang mereka yang sudah menegang, namun aku tetap lebih suka milik si brewok karena nampak lebih menggairahkan, milik Pak Fauzan juga besar dan berisi, namun tidak terlalu berurat dan sekeras si brewok, sedangkan punya temannya lumayan panjang, tapi biasa saja, standarnya pribumi Indonesialah. Aku sendiri tinggal memakai kaos ketat dan bra-ku yang sudah tersingkap.
Kaki kiriku diangkat ke bahu si brewok yang berjongkok sambil melumat vaginaku. Teman Pak Fauzan yang dipanggil 'Zul' itu menopang tubuhku dengan mendekap dari belakang, tangannya terus beraktivitas meremas payudara dan pantatku sambil memainkan lidahnya di lubang telingaku. Pak Fauzan sendiri kini sedang menetek dari payudara kananku. Aku menggelinjang dahsyat dan mendesah tak karuan diserbu dari berbagai arah seperti itu. Tanganku menggenggam penis Pak Fauzan dan mengocoknya perlahan.
"Oookkhh.. Jangan terlalu keras," rintihku sambil meringis ketika Pak Fauzan dengan gemas menggigiti putingku dan menariknya dengan mulut, secara refleks tanganku menjambak pelan rambutnya.
Sementara si brewok di bawah sana menyedoti dalam-dalam vaginaku seolah mau ditelan. Dia memasukkan lidahnya ke dalam vaginaku sehingga memberi sensasi geli yang luar biasa padaku, klitorisku juga dia gigit pelan dan digelikitik dengan lidahnya. Pokoknya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata betapa nikmatnya saat itu, jauh lebih nikmat dari mabuk anggur manis. Aku menengokkan wajah ke samping untuk menyambut Zul yang mau melumat mulutku. Lihai juga dia berciuman, lidahnya menjilati lidahku dan menelusuri rongga mulutku, nafasku seperti mau habis rasanya.
Kemudian mereka membaringkanku di kursi untuk berbaring di kolong mobil itu (whateverlah namanya aku tidak tahu nama barang itu ^_^;). Zul langsung mengambil posisi di selangkanganku, tapi segera dicegah oleh Pak Fauzan yang menginginkan jatah lubang lebih dulu. Setelah dibujuk-bujuk Zul pun akhirnya mengalah dari Pak Fauzan yang lebih senior itu. Sebagai gantinya dia mengambil posisi di dekat kepalaku dan menyodorkan penisnya padaku. Kumulai dengan menjilati batang itu hingga basah, lalu buah zakarnya kuemut-emut sambil mengocok batangnya.
Walaupun agak bau tapi aku sangat menikmati oral seks itu, aku senang membuatnya mengerang nikmat ketika kujilati lubang kencing dan kepala penisnya. Pak Fauzan yang sudah selesai dengan pemanasan dengan menggesekkan penisnya pada bibir vaginaku kini sudah mengarahkan penisnya ke liang senggamaku. Aku menjerit kecit ketika benda itu menyeruak masuk dengan sedikit kasar, selanjutnya dia menggenjotku dengan gerakan buas. Aku meresapi setiap detil kenikmatan yang sedang menyelubungi tubuhku, semakin bersemangat pula aku mengemut penis si Zul, kumainkan lidahku di sekujur penis itu untuk menambah kenikmatan pemiliknya. Dia mengerang keenakan atas perlakuanku yang memanjakan 'adik kecil'nya.
Rambutku diremas-remas sambil berkata, "Oooh.. Terus Non, enak banget.. Yahh!"
Tanganku yang lain tidak tinggal diam ikut mengocok punya si brewok yang pada saat yang sama sedang melumat payudaraku. Dia sangat menikmati setiap jengkal payudaraku, dia menghisapnya kuat-kuat diselingi gigitan-gigitan yang meninggalkan jejak merah di kulitnya yang putih. Sungguh kagum aku dengan penisnya dalam genggamanku, yang benar-benar keras dan perkasa membuatku tidak sabar ingin segera mencicipinya. Maka aku melepaskan emutanku pada penis Zul dan berkata pada si brewok,
"Sini dong Mas, gua mau nyepong kontolnya!"
Si brewok langsung menggantikan Zul dan menyodorkan penisnya padaku. Hmm.. Inilah yang kutunggu-tunggu, aku langsung membuka lebar-lebar mulutku untuk memasukkan benda itu. Tentu saja tidak muat seluruhnya di mulut mungilku malah terasa sesak. Si Zul menggosok-gosokkan penisnya yang basah ke wajahku. Sambil dioral, tangan si brewok yang kasar dan berbulu itu meremasi payudaraku dengan brutal. Di sisi lain, Pak Fauzan melepaskan sepatu bersol tinggi yang kupakai, lalu menaikkan kedua tungkaiku ke bahu kirinya, sambil menggenjot dia juga menjilati betisku yang mulus. Aku benar-benar terbuai oleh kenikmatan main keroyok seperti ini.
Tiba-tiba kami terhenti sejenak karena terdengar suara pintu di buka dari dalam dan keluarlah seorang yang hanya memakai singlet dan celana pendek, tubuhnya agak kurus dan berusia sepantaran dengan Pak Fauzan dengan jenggot seperti kambing. Aku mencoba mengingat-ingat orang ini, sepertinya pernah lihat sebelumnya, oohh.. Iya itu kan montir yang mendengar dan mencatat masalah yang kuceritakan tentang mobilku ketika aku membawanya ke sini. Sepertinya dia baru mandi karena rambutnya masih basah dan acak-acakan. Sebelumnya dia agak terperanjat dengan apa yang dia lihat tapi kemudian dia mendekati kami.
"Weleh-weleh.. Gua sibuk cuci baju di belakang, kamu-kamu malah pada enak-enakan ngentot," katanya "Lho, ini kan si Non cantik yang mobilnya diservis itu!"
"Sudah jangan banyak omong, mau ikutan nggak!" kata si brewok padanya.
Buru-buru si montir yang bernama Joni itu melepaskan celananya dan kulihat penisnya bagus juga bentuknya, besar dengan otot yang melingkar-lingkar. Tiga saja belum selesai sudah datang satu lagi, tambah berat deh PR gua, demikian kataku dalam hati. Pak Joni mengambil posisi di sebelah kananku, tangannya menjelajah kemana-mana seakan takut tidak kebagian tempat. Payudara kananku dibetot dan dilumat olehnya sampai terasa nyeri. Aku mengerang sejadi-jadinya antara kesakitan dan kenikmatan, semakin lama semakin liar dan tak terkendali.
Pak Fauzan dibawah sana makin mempercepat frekuensi genjotannya pada vaginaku. Lama-lama aku tidak sanggup lagi menahan cairan cintaku yang semakin membanjir. Di ambang puncak aku semakin berkelejotan dan tanganku semakin kencang mengocok dua batang penis di genggamanku yaitu milik Pak Joni dan Bang Zul. Zul juga menggeram makin keras dan Crot.. Crot.. Cairan putih kentalnya menyemprot dan berceceran di wajah dan rambutku. Sementara otot-otot kemaluanku berkontraksi makin cepat dan cairan cintaku pun tak terbendung lagi. Aku telah mencapai puncak, tubuhku mengejang hebat diiringi erangan panjang dari mulutku, tapi dia masih terus menggenjotku hingga tubuhku melemas kembali. Setelah dia cabut penisnya, diturunkannya juga kakiku.
"Gantian tuh, siapa mau memek?" katanya.
Si brewok langsung menggantikan posisinya, sebelumnya dia menjilati dan menyedot cairan vaginaku dengan rakus bagaikan menyantap semangka. Pak Fauzan menaiki dadaku dan menjepitkan penisnya yang sudah licin diantara payudaraku. Dia memaju-mundurkannya seperti yang dia lakukan terhadap vaginaku, tidak sampai lima menit, spermanya muncrat ke muka dan dadaku, kaosku yang tergulung juga ikut kecipratan cairan itu. Pak Fauzan mengelap spermanya yang berceceran di dadaku sampai merata sehingga payudaraku nampak mengkilap oleh cairan itu. Kujilati sperma di sekitar bibirku dengan memutar lidah.
Si brewok minta ganti gaya, kali ini dia berbaring di kursi montir. Tanpa diperintah aku menurunkan tubuhnya sambil membuka lebar liang senggamaku dengan jari. Tanganku yang lain membimbing batang itu memasuki liang itu. Aku menggigit bibir dan mendesis saat penis itu mulai tertancap di vaginaku. Hingga akhirnya seluruh batang itu tertelan oleh liang surgaku, rasanya sangat sesak dan sedikit nyeri dijejali benda sekeras dan sebesar itu, aku dapat merasakan urat-uratnya yang menonjol itu bergesekan dengan dinding vaginaku.
Aku belum sempat beradaptasi, dia sudah menyentakkan pinggulnya ke atas, secara refleks aku menjerit kecil. Sekali lagi dia sentakkan pinggulnya ke atas sampai akupun ikut menggoyangkan tubuhku naik-turun. Mataku merem-melek dan kadang-kadang tubuhku meliuk-liuk saking nikmatnya. Kuraih penis Pak Joni di sebelah kiriku dan kukulum dengan bernafsu, begitu juga dengan penis Pak Fauzan, batang yang sedang kelelahan itu kukocok-kocok agar bertenaga lagi, sisa-sisa spermanya kujilati hingga bersih. Kurasakan ada dua jari memasuki anusku, mengoreki lalu bergerak keluar-masuk di sana, aku menengok ke belakang ternyata pelakunya Bang Zul yang entah kapan sudah di belakangku.
Mungkin karena ketagihan dikaraoke olehku, Pak Joni memegangi kepalaku dan menekannya pada selangkangannya, lalu dia maju-mundurkan pinggulnya seperti sedang bersenggama. Aku sempat gelagapan dibuatnya, kepala penis itu pernah menyentuh tekakku sampai hampir tersedak. Namun hal itu tidak mengurangi keaktifanku menggoyang tubuhku dan mengocok penis Pak Fauzan dengan tangan kiriku. Payudaraku yang ikut bergoyang naik-turun tidak pernah sepi dari jamahan tangan-tangan kasar mereka.
Sepertinya Bang Zul mau main belakang karena dia melebarkan duburku dengan jarinya dan sejenak kemudian aku merasakan benda tumpul yang tak lain kepala penisnya melesak masuk ke dalamnya. Ketiga lubang senggamaku penuh sudah terisi oleh tiga penis. Penis Pak Joni dalam mulutku makin bergetar dan pemiliknya pun makin gencar menyodok-nyodokkannya pada mulutku hingga akhirnya menyemprotkan spermanya di mulutku. Belum habis semprotannya dia menarik keluar benda itu (thank god, akhirnya bisa menghirup udara segar lagi) sehingga sisanya menyemprot ke wajahku, wajahku yang sudah basah oleh sperma Bang Zul dan Pak Fauzan jadi tambah belepotan oleh spermanya yang lebih kental dari milik dua orang sebelumnya.
"Aahh.. Aahh.. Dikit lagi Bang!" desahku karena sudah akan klimaks lagi.
Cairan cinta terasa terus mengucur membasahi rongga-rongga kemaluanku bersamaan dengan penis si brewok yang terasa makin membengkak dan sodokannya yang makin gencar. Otot-ototku menegang dan desahan panjang keluar dari mulutku akibat orgasme panjang bersama si brewok. Cairan hangat dan kental menyemprot hampir semenit lamanya di dalam lubang vaginaku. Akhirnya tubuhku kembali melemas dan jatuh telungkup di atas dada yang bidang berbulu itu dengan penis masih menancap, sementara dari belakang Bang Zul masih getol menyodomiku tanpa mempedulikan kondisiku sampai dia menumpahkan spermanya di anusku lima menit kemudian. Setelah beristirahat lima menit, Pak Fauzan mengangkat tubuhku diatas kedua tangannya dan membawaku ke ruangan lain yang adalah tempat pencucian mobil bersama teman-temannya.
"Eh, mau ngapain lagi kita nih Pak?" tanyaku heran.
"Kita mau mencuci Non dulu soalnya sudah lengket dan bau peju sih," jawabnya sambil nyengir, kemudian memerintah si brewok untuk menyiapkan selang air.
Pelan-pelan dia turunkan aku, tapi aku masih belum sanggup berdiri karena masih lemas sekali, jadi aku hanya duduk bersimpuh saja di lantai marmer itu.
"Bajunya dilepas aja Non biar nggak basah," katanya sambil membantuku melepaskan kaosku yang tergulung.
Aku kini telah telanjang bulat, hanya jam tangan, anting, dan seuntai kalung perak dengan leontin huruf C yang masih tersisa di tubuhku. Si brewok menyalakan krannya dan mengarahkan selang itu padaku.
"Awww.. Dingin!" desahku manja merasakan dinginnya air yang menyemprot padaku.
Pak Joni melepaskan singletnya dan bersama dua orang lainnya mendekati tubuhku yang masih disemprot si brewok, ketiganya mengerubungi tubuhku sambil tertawa-tawa. Aku lalu diberdirikan dan didekap mereka, tangan-tangan mereka menggosoki tubuhku untuk membasuh ceceran sperma yang lengket di sekujur tubuhku seperti sedang memolesi mobil dengan cairan pembersih.
Beberapa menit lamanya si brewok menyirami kami dengan air dingin sehingga tubuh kami basah kuyup. Sesudah itu dia juga ikut bergabung menggerayangiku. Pak Joni mendekapku dari depan, setelah puas menciumi dan meremas payudaraku dia menaikkan kaki kananku ke pinggangnya dan memasukkan penisnya ke vaginaku, mereka mengerjaiku dalam posisi berdiri. Pak Fauzan merangkulku dari belakang dan tak henti-hentinya mencupangi pundak, leher dan tengukku. Bang Zul berjongkok meremasi dan menjilati pantat montokku yang terangkat dengan gemasnya.
Si brewok menggerayangi payudaraku yang lain sambil menggelitik telingaku dengan lidahnya. Desahan nikmatku terdengar memenuhi ruangan itu. Beberapa menit kemudian Pak Joni klimaks dan menumpahkan spermanya di dalam vaginaku. Ini masih belum berakhir, karena setelahnya tubuhku mereka telentangkan di atas kap depan sebuah sedan berwarna silver metalik dan kembali aku disemprot dengan selang air hingga semakin basah.
Bang Zul membentangkan pahaku dan menancapkan penisnya ke vaginaku. Mungkin karena sudah terisi penuh, maka ketika penis itu melesak ke dalamku, nampak sperma kental itu meluap keluar dari sela-sela bibir vaginaku. Aku kembali orgasme yang kesekian kalinya, tubuhku menggelinjang di atas kap mobil itu. Kemudian tak lama kemudian dia pun mencabut penisnya dan menumpahkan isinya di atas perut rataku. Akhirnya selesai juga mereka mengerjaiku, aku terbaring lemas diatas kap, rasanya pegal sekali dan sedikit kedinginan karena basah.
Mereka juga sudah kecapean semua, ada yang duduk mengatur nafas, ada juga yang mengelap badannya yang basah. Pak Fauzan memberiku sebuah Aqua gelas dan handuk kering. Aku menggerakkan tangan menghanduki tubuhku yang basah. Setelah Pak Fauzan dan Bang Zul selesai memasang onderdil yang tertunda, selesai pula perbaikan mobilku. Aku membayarkan biayanya pada Pak Fauzan yang ternyata masih saudara dengan pemilik bengkel ini, pantas dari tadi montir lain tunduk padanya. Aku juga memberi tambahan sepuluh ribu rupiah sebagai uang rokok untuk dibagi antara mereka berempat. Sampai di rumah aku langsung tidur dengan tubuh pegal-pegal, janji ke kafe dengan teman-teman pun terpaksa kubatalkan dengan alasan tidak enak badan.
E N D
Gairah Karyawanku
Cerita ini kubuat semata-mata hanya ingin berbagi pengalaman, dimana kejadian yang kualami ini sungguh-sungguh terjadi kurang lebih setahun yang lalu. Sengaja nama tempat-tempat yang pernah ada, kusamarkan karena tidak enak dengan karyawan lain.
Aku adalah seorang pimpinan sebuah Biro Perjalanan Wisata yang terhitung masih baru di negara ini. Panggil saja aku Pram. Aku seorang laki-laki yang masih bujangan walau umurku sudah 32 tahun.
Pertama aku menjalankan perusahaan ini, aku merekrut beberapa karyawan yang layaknya perusahaan travel tentu banyak wanitanya. Salah satu karyawanku itu sebutlah namanya Esther, adalah tangan kananku dalam menjalankan roda perusahaan ini. Dia cukup berpengalaman di bidang marketing dan operasional. Orangnya cantik, putih, berumur sekitar 28 tahun. Pertama aku meng-interview dia kujabat tangannya, "Selamat siang, perkenalkan nama saya Pram, Pramono."
Dia pun menyebutkan namanya, "Esther.." dengan nada suaranya yang agak serak, yang bagiku terdengar seksi.
"Boleh saya lihat CV anda?" tanyaku.
"Silakan Pak," sahutnya.
Aku pun mulai bertanya seperti layaknya pimpinan perusahaan yang sedang meng-interview calon karyawannya.
"Sepertinya anda cukup pengalaman di bidang travel, sudah berkeluarga?" tanyaku penuh selidik.
"Sudah Pak," jawabnya singkat.
Lalu ditambahkan, "Saya sudah berputra satu."
"Ooo.. Oke anda diterima, kapan anda mulai bergabung dengan kami?" tanyaku lagi.
"Mungkin minggu depan, bagaimana Pak?" jawabnya, sambil memainkan matanya yang indah.
"Hmm.. boleh, selamat ya.." kataku sambil menjabat tangannya.
Begitulah, Esther sejak itu menjadi karyawanku, dimana sewaktu marketing aku selalu mengajak dia. Dia pun kelihatan senang kalau aku mengajaknya keluar.
Dari seringnya kami keluar bersama entah kenapa dia sering memancing omongan kearah yang lebih pribadi. Sampai akhirnya pada suatu saat aku terkejut begitu mengetahui dia ternyata sudah bercerai dengan suaminya. "Hah?! pantas aku nggak pernah melihat suami kamu.." aku hanya bisa geleng-geleng kepala. "Yah, beginilah kehidupan saya Pak, saya janda dengan anak satu, maafkan saya Pak, selama ini saya berbohong pada Bapak." Esther menyahut dengan tetesan air mata di pipinya. Aku tidak tahan dengan pemandangan itu, lalu kubelai rambutnya, entah setan dari mana aku memeluk dirinya. Ternyata dia pun malah menghamburkan tubuhnya di dadaku, dengan tangisnya yang semakin kencang.
Sejak saat itu aku semakin dekat dengan Esther, tapi tetap aku menjaga hubungan kami itu dari karyawan lain. Dimana kalau kami sedang berdua, dia memanggilku dengan sebutan, "Mas". Tapi kalau ada karyawan lain dia tetap memanggilku, "Pak".
Sampai sebulan kemudian, aku ditemani Esther kerja lembur di kantor. Kurang lebih pukul 8 malam, aku istirahat sambil duduk di sofa yang ada di ruanganku. Saat itu Esther terlihat cantik dengan rok mini dipadu blazer coklatnya. "Mas, ayo cepet pulang, Rian kasian di rumah," rengeknya. Oh ya, Rian itu adalah putra dari suaminya dulu.
"Iya.. ya sebentar aku capek nih," aku menjawab sambil tersenyum, lalu kutarik tangannya agar duduk di sebelahku. Kami pun terlibat obrolan tentang masa lalunya, yang memancing tangisnya pecah lagi.
"Sudahlah, kamu berhak melanjutkan hidup kamu, jangan kamu sia-siakan, kamu masih punya tanggung jawab terutama dengan Rian, iya kan?" hiburku sambil memeluknya.
Perlahan kucium rambutnya yang harum itu, kukecup bibirnya. Esther pun membalas disertai air matanya yang masih menetes di pipinya. Entah kenapa aku semakin berani dengan mengecup lehernya, Esther pun hanya merintih kegelian, tapi dibiarkan saja aku terus menjelajahi seantero lehernya.
Tadinya aku berpikir, sudah sekian lama dia tidak mendapatkan sentuhan laki-laki masak sih dia tidak ada keinginan untuk itu? Sambil deg-degan tanganku mencoba meraih kancing blazernya. Yess! Ternyata dia hanya merintih, "Ouhh.. Mass.." malah tangannya meraba pahaku. Mendapat respon seperti itu aku menjadi kegirangan, satu-satu kubuka kancing blazernya, dan kulihat blouse dalamnya yang ternyata berwarna kuning juga, tapi sangat transparan, sehingga terlihat BH yang berwarna hitam itu menerawang di balik blouse-nya.
Kulihat matanya meredup seolah mengharap aku bertindak lebih jauh. "Iya sayang aku tau, kamu sudah lama kan tidak pernah mendapat sensasi seperti ini?" aku berkata dalam hati. Pelan-pelan kancing blouse itu kubuka, tidak sampai satu menit terbuka semua kancing itu. Entah pura-pura atau apa Esther tiba-tiba menutup blouse yang sudah terlanjur terbuka itu.
"Kenapa?" tanyaku keheranan.
"Hmm.. malu, malu Mas.." jawabnya.
"Aku tau sayang, kamu sebenarnya menginginkannya kan?" tanyaku yakin.
Dia cuma diam, dan tanpa menunggu jawaban dari Esther, perlahan kusingkirkan tangannya dari dua bukit kembar yang masih tertutup kain segitiga hitamnya. Sambil kembali aku melumat bibirnya kutelusupkan jariku di celah BH-nya. Dan, tanpa kesulitan kutemukan tonjolan daging di puncak buah dadanya yang ternyata sudah keras. Karena jari-jariku kejepit BH yang mungkin kesempitan buatnya, kupaksakan keluar buah dadanya yang kanan keluar dari balik BH-nya. Benar juga dugaanku, BH yang kutaksir 34 itu ternyata masih agak kesempitan, karena begitu bukit daging itu menyeruak keluar besarnya kurang lebih sebesar jeruk bali, dengan putingnya yang merah kehitaman.
"Mas dibuka saja, nanti BH-ku rusak," kata Esther tiba-tiba.
Pucuk dicinta ulam pun tiba! gumamku. Karena pengalamanku yang sudah menggauli sekian banyak wanita, kalau hanya membuka BH dengan satu tangan sih mudah saja. Dan, kedua buah dada Esther sekarang terpampang tepat di depan wajahku. "Boleh?" aku bertanya seolah minta ijin darinya. Esther hanya tersenyum, dan dua detik kemudian bibirku sudah menyentuh puting susunya sebelah kanan sedang tangan kananku beroperasi pada yang satunya. Perlahan kumainkan lidahku di tonjolan puting susunya sambil kutarik-tarik dengan bibirku. Sedang tanganku sibuk memilin-milin dan meremas buah dada yang satunya.
Tiba-tiba pecahlah rintihan nafsu keluar dari mulut Esther. "Ouuhh.. Mass.. terus.." Entah sadar atau karena kebiasaan dengan suaminya dulu, Esther mendaratkan tangannya di atas selangkanganku. Dan tanpa diminta dia langsung meremas-remas tonjolan di balik reitsleting celanaku. Kontan daging panjang di balik celanaku itu membengkak. Aku berpikir tidak adil, kalau dia sudah berani memegang kemaluanku, kenapa aku cuma di sekitar dadanya? Aku pun mengarahkan tanganku yang tadi memainkan buah dadanya, ke pahanya.
Entah karena refleks atau apa, Esther pun seperti membuka jalan dengan membuka kedua pahanya. Otomatis rok kuning mini miliknya ikut terkuak. Dari cuma mengelus pahanya, tanganku pun menjalar ke atas sampai menyentuh secarik kain yang menutupi bukit pubis di selangkangannya. Perlahan kuelus bukit kecil itu. "Mass.. Ouughh.." rintihan Esther terdengar semakin keras.
Sementara mulutku masih asyik mengulum dan mengenyot puting Esther, jemariku rasanya tidak betah kalau hanya mengelus secarik celana dalamnya. Kutelusupkan jari-jariku masuk dari pinggir celana dalam Esther yang ternyata berwarna hitam juga. Dan, begitu menyentuh daging di balik celana dalamnya, jari-jariku disambut dengan kehangatan dan kelembaban yang dikeluarkan oleh kemaluannya.
Ada tiga menit aku mengelus bibir kemaluan Esther, perlahan dari bawah ke atas, terus bergantian, sampai tiba-tiba saja dia berdiri dan, "Mas.. ehmm sebentar ya?" ternyata dia melorotkan sendiri celana dalamnya, lalu dibuang begitu saja di lantai. Aku hanya melongo memperhatikan kelakuannya, "Aku takut celanaku basah.." sahutnya malu-malu. Aku pun tersenyum dibuatnya. "Iya nih belum apa-apa sudah lengket tanganku." godaku. Wajah Esther merah sambil mencubit perutku.
"Curang! Mas Pram curang! celana Mas belum dibuka." gerutunya cemberut yang dibuat-buat.
"Ya udah, so mau kamu gimana?" tanyaku pura-pura nggak ngerti.
"Iiihh.. norak! Ayo dong dibuka!" rengeknya manja.
Aku cuma terkekeh dibuatnya, tapi aku pun menuruti kemauannya. Sambil dibantu Esther, celana panjangku akhirnya lepas. Sekarang aku cuma memakai celana dalam.
"Yang ini? Belum!" dia menunjuk ke arah celana dalamku.
"Usaha dong.." jawabku sekenanya. Tapi Esther cuma memandang tonjolan daging panjang yang masih tersimpan rapi di balik celana dalamku. Tangannya kembali menyentuh tonjolan tersebut. Diurut perlahan dari bawah ke atas, dan pada ujungnya dia memainkan jarinya sedemikian rupa sampai aku merem melek dibuatnya, "Hmm.. yahh.. ouffsshh.. pintar kamu Ther.." gantian aku dibuatnya merintih keenakan. Sementara mulut dan bibirnya memagut leherku dengan lembutnya.
Tidak lama kemudian, "Aku buka ya?" tanya Esther.
Aku cuma mengangguk, "Terserah kamu sshh.. mau diemut juga boleh.. oouuhh.." kataku disertai rintihan.
Sedetik kemudian mencuatlah batang kemaluanku dengan gagahnya. Sambil terus mengurut dan meremas-remas kemaluanku, Esther memuji kemaluanku, "Wahh.. pantas..!"
Aku heran, "Apanya yang pantas?"
"Nggak Mas, tapi jangan marah ya? Aku sering membayangkan itunya Mas Pram kalau lagi tegang, soalnya sering kalau ininya Mas Pram lagi tegang aku nggak sengaja ngeliat.." katanya sambil meremas agak kuat kemaluanku.
"Kan nggak kelihatan?" tanyaku heran.
"Iya! Tapi kelihatan kok kalau punya Mas Pram gedee.. banget! Menuh-menuhin bungkusnya. Tuh liat tuh sampe tanganku aja nggak muat megangnya." Sahutnya penuh nafsu yang tertahan.
"Apa lagi kalau.. kalau.. mm.." omongannya terputus.
"Apa..?" tanyaku penasaran.
"Nggak, apa lagi kalau.. masuk ke sini.." sambil tangannya menunjuk ke arah liang kemaluannya sendiri.
"Ke mana Sayang? hmm? ke sini?" sahutku sambil tanganku menyingkap roknya dan kembali meraba bukit kemaluan Esther yang tercukur rapi itu.
"Ssstt.. ouhh.. yahh.. oufsshh.." kembali dia merintih pelan.
"Kuemut ya Sayang?" tanpa menunggu jawaban dariku, Esther langsung membuka lebar mulutnya dan, "Ouuhh.. Godd!" aku merintih nikmat karena kepala kemaluanku sudah dalam jepitan bibir Esther yang terlihat seksi itu.
Sementara lidah Esther memainkan kepala kemaluanku, aku sibuk dengan jariku memainkan bagian puncak dari lubang kemaluannya, yang di situ bertengger daging kecil klitorisnya yang sudah amat tegang. Esther begitu mahir dengan permainan mulutnya yang naik turun yang mengeluar-masukkan batang kemaluanku di mulutnya. Aku terbuai dihempas badai kenikmatan dengan hisapan dan emutan Esther di seluruh kemaluanku. Sambil mataku tertutup, aku membayangkan, yahh.. pantas saja dia janda, tentu pintar membuat pasangannya kelonjotan begini! Tapi aku pun saat itu juga berpikir, aku pun juga piawai kalau hanya membuat wanita kelojotan.
Setelah 10 menit berlalu, kuangkat kepala Esther dan otomatis batang kemaluanku tercabut dari keganasan permainan mulut dan bibirnya. Kulihat batang kemaluanku basah oleh air liur Esther.
"Ada apa Mas? nggak enak ya?" tanyanya khawatir.
Aku tersenyum, "Nggak.. enak kok, tapi pengen gantian aja," jawabku singkat.
Esther masih keheranan dengan sikapku, lalu dia kusuruh merebahkan tubuhnya di sofa merah di ruanganku itu.
"Mau ngapain Mas.." tanya Esther belum hilang keheranannya, tapi dia mau menuruti kehendakku dengan merebahkan tubuhnya di sofa.
Aku cuma tersenyum lalu, "Coba deh ya?" jawabku.
Aku mulai mengecup lututnya yang terjuntai ke lantai, sementara rok mininya kutarik ke atas, hingga terpampanglah selangkangan Esther yang polos dan sangat menggairahkan itu. Perlahan kutelusuri paha kanannya dari lutut bagian luar kemudian masuk ke arah belakang lututnya terus merangkak naik. Lantas paha yang satunya pun tidak luput dari kecupan bibir dan jilatan lidahku, perlahan naik ke arah bukit kemaluannya disertai erangan dan rintihannya yang terputus-putus.
Seperti tersadar akan apa yang akan kulakukan, dia berujar, "Mas, ehh.. Mas.. jangan!" sambil kedua telapak tangannya menutupi selangkangannya dan kedua pahanya dirapatkan.
"Kenapa Sayang..?" tanyaku.
Dia bangkit, "Jangan Mas.. soalnya kan.." dia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa.." aku menunggu jawabannya.
"Soalnya.. Soalnya punyaku bau.." jawabnya malu-malu.
"Masa sih? Mana sini aku cobain, bau apa nggak!" kataku sambil berusaha merebahkan tubuhnya kembali di sofa.
Kembali Esther menuruti kehendakku merebahkan tubuhnya di sofa, tapi selangkangannya masih tertutup rapat dan tangannya masih menelungkupi bagian kemaluannya. Kembali lidah dan bibirku menelusuri bagian atas pahanya, sampai akhirnya bibirku menyentuh tangannya yang tetap tidak mau minggir itu.
"Mas.. ouhh Mas.. jangan Mas.. punyaku bau Sayang.. jangan dong.. ouh sshh.. aku malu.." katanya sambil terus diiringi rintihannya.
"Hmm.." Aku cuma bergumam sambil terus menciumi tangannya. Perlahan namun pasti, akhirnya kedua telapak tangan Esther mau juga minggir dan berganti mengelus-elus pipiku. Sementara kedua pahanya masih tertutup rapat seolah belum mau memberi kesempatan pada lidahku untuk mencicipi lubang surga yang dimiliki Esther ini. Kusapu terus dengan lidahku daerah lipatan pubis Esther yang ditumbuhi bulu-bulu tercukur rapi itu. Mulai tercium aroma kemaluan wanita yang khas yang biasanya merebak jika wanita semacam Esther ini didera nafsu birahi yang hebat. Aku sangat yakin lubang kemaluan Esther ini pasti paling tidak sudah mengeluarkan beberapa tetes cairan pelumas.
Entah sadar atau tidak atau memang Esther sudah amat menginginkannya, dengan sedikit tenaga dari tanganku akhirnya perlahan terbuka juga kedua pahanya yang sudah 10 menit tertutup rapat. Dan semakin menyeruaklah bau harum yang khas yang dikeluarkan dan ditebarkan oleh cairan yang keluar dari lubang itu.
Kedua paha Esther belum terbuka maksimal, jadi bentuk kemaluannya masih terlihat garis lurus dengan bibir labia mayora di lubang kemaluannya masih menutupi misteri yang ada di situ. Sedikit demi sedikit kuresapi kebasahan yang melekat di bibir kemaluan Esther. Oh Tuhan, akhirnya aku bisa menikmati kemaluan Esther yang sudah sekian lama kuimpikan. Semakin lebar tanpa sadar Esther membuka pahanya, perlahan semakin terkuaklah bibir luar kemaluan Esther memperlihatkan lubang yang mulai menganga yang di atas pucuk kemaluan itu ada secuil daging kecil bertengger dengan indahnya seolah bergetar tak sabar menunggu keliaran dari lidah dan mulutku.
Dan, "Ouhh.. Mas.. God! Yahh..! esstthh.." dari mulut Esther pecah rintihan keras begitu lidahku menjelajahi bagian dalam lubang kemaluannya, terus kusentil klitoris yang sedari tadi mengharapkannya. Setiap milimeter apa yang ada di liang kemaluan Esther tidak ada yang terlewati, kujilat dan terus kujilati.
Sekarang jemari di tangan Esther hanya bisa mengelus rambutku. Esther tambah kelonjotan saat lidahku menerobos masuk ke dalam lubang kemaluannya dan menjilati tonjolan-tonjolan daging yang ada di dalam sana. Lalu kembali lidahku menjilati bibir bagian dalam kemaluannya terus ke atas sampai menyentuh klitorisnya. Ada 5 menit aku memainkan klitorisnya. Sementara erangan Esther makin keras dan tubuhnya semakin bergetar hebat. Aku pun mengimbanginya dengan mulai menggigit-gigit kecil bibir kemaluannya dengan bibir dan gigiku. "Mass.. kamu hebat Sayang.. ouuhh yess.. Godd.. terus.. ouuff.. Mas Pram.. sshh.. yaahh.. teruss Sayang.."
Kembali ke arah daging kecil itilnya, bibirku mulai menghisap klitoris Esther di dalam mulutku, sambil diemut-emut seperti layaknya ngemut permen. Klitoris yang ada di dalam mulutku itu kuemut dengan lembut sementara lidahku memainkannya di dalam. "Yahh.. teruss.. hisap itilku.. Ouuff ssh.. yang kuat Mass.. terus.. yahh begitu.. oouuhh Mas.. Mas Pramm.. aku belum pernah seenak ini Mass.. Aduuhh.. pintar banget sih Mass.. Godd.." rintihan Esther seperti memberi semangat buatku untuk terus menjilati dan menghisap itilnya lebih kuat.
Tubuh Esther berkelonjotan ke sana ke mari, sementara jari-jarinya menjambak rambutku, dan di sela-sela lidahku yang makin ganas dan liar menghisap dan mengemut klitorisnya, tiba-tiba, "Sruutt.. srutt.. gleekk.. sruutt.. sruutt.." entah dari mana datangnya tiba-tiba mulutku dibanjiri cairan yang begitu banyaknya sampai aku kewalahan untuk menghindarinya karena Esther sekarang bukan lagi menarik-narik rambutku, tapi malah berusaha membenamkan wajahku di lubang kemaluannya dengan menekan kuat kepalaku pada selangkangannya, sementara kedua pahanya menjepit kuat kepalaku. "Teruss.. Sayang.. aduhh.. yahh.. dikit lagi.. oouuhh Godd.. esshh.. sedikit lagi Mass.. aduuhh nikmat sekali.. esstt.. ouuff.."
"Sreett.. srr.. seerrtt.. glekk serr.. gllekk.." mau tidak mau cairan yang disemburkan dari lubang kemaluan Esther itu kutelan, karena memang kepalaku oleh Esther dibenamkan di liang kemaluannya serta dijepit dengan kuat oleh kedua pahanya. Entah sudah berapa kali Esther menyemburkan cairan kenikmatan yang keluar membanjir masuk ke dalam mulutku. Dan entah berapa kali aku menelannya. Karena setiap kuhisap klitorisnya, saat itu pula cairan itu menyembur kuat masuk ke dalam mulutku terus masuk ke dalam kerongkonganku yang berarti otomatis tertelan olehku.
Tapi entah kenapa aku begitu menyukai rasa cairan yang dikeluarkan oleh lubang kemaluan Esther ini, jadi aku malah tambah bernafsu untuk menghisap habis cairan yang terus membanjiri di dalam mulutku. Aroma cairan yang keluar dari kemaluan Esther ini sungguh beda dari wanita yang pernah kucicipi. Rasa dan aromanya begitu harum, gurih dan rasanya tidak ada rasa dan aroma cairan di dunia ini yang seenak dan segurih yang dimiliki Esther ini. Mungkin setelah sekitar 10 kali semburan, cairan itu tidak terlalu kuat lagi menyembur, hanya berupa tetesan saja.
Sementara itu Esther pun sedang menikmati multi orgasmenya yang panjang dengan rintihan dan erangan yang tidak putus-putusnya. Sampai 3 menit kemudian, dia pun mengendorkan jepitan pahanya di kepalaku dan melepaskan cengkeraman tangannya juga di kepalaku. Aku yang tadi sulit bernafas, sekarang bisa mengambil nafas lega, dan kupandangi lubang kemaluan Esther yang terlihat merah dan sangat basah, di situ masih terlihat tetesan cairan yang tadi begitu derasnya menyerbu mulutku. Kulihat juga sofa di bawah selangkangan Esther basah ternoda oleh sisa cairan yang masih terus menetes. Kupikir ketimbang mengotori sofaku, kutampung sisa cairan yang masih menetes itu dengan kembali menjilati lubang kemaluan Esther. Kontan Esther merengek, "Mass.. udah Sayang.. aduuhh.. Gelii.. oouuhh.. ouuff.. sstt.. Geli Sayang.. udah dong.. aduh enak Mas.. aduhh.. aku nafsu lagi nih.."
Kemudian dia menarik tubuhku dan langsung mencium bibirku dengan ganasnya, padahal di mulutku masih banyak sisa cairannya sendiri. Aku pun berusaha menolaknya, seperti mengetahui pikiranku, Esther menimpali, "Hmm.. enak juga cairanku ya Mas? Gurih ya?" dia terlihat mengecapkan mulutnya seperti mencicipi masakan yang luar biasa lezatnya. Aku pun menjawab, "Esther, betul-betul deh cairan kamu ini bener-bener luar biasa enaknya. Kayaknya nggak ada deh di dunia ini yang bisa menandingi kelezatan dan kegurihan yang dikeluarkan kemaluan kamu.." aku setengah merayu. Dia cuma memelukku manja, namun beberapa saat kemudian kulihat dari kedua mata Esther keluar air, (air mata?) "Aduuh Mas Pram, aku belum pernah mengalami sensasi yang barusan kamu berikan padaku, aku nggak mau pisah Mas.. jangan tinggalkan aku ya? Pleasee.. kawini aku, Mas.." dia berkata sambil sesunggukan berurai air mata, dan tangannya menyeka mulutku dengan tissue dari kebasahan yang tadi membanjiri mulutku.
Kulihat jam sudah pukul 9:30 malam, "Ayo sayang kita pulang, kasihan Rian menunggu kamu di rumah." bisikku.Lalu kami pun merapikan pakaian dan pulang menuju rumah Ester. Sejak saat itu Esther menjadi Sephiaku dan kami pun sering mengulangi kejadian tersebut hingga akhirnya kami berpisah karena Esther telah dinikahi oleh orang lain. Begitulah nasib manusia, jodoh benar-benar berada di Tangan yang Kuasa.
TAMAT
Aku adalah seorang pimpinan sebuah Biro Perjalanan Wisata yang terhitung masih baru di negara ini. Panggil saja aku Pram. Aku seorang laki-laki yang masih bujangan walau umurku sudah 32 tahun.
Pertama aku menjalankan perusahaan ini, aku merekrut beberapa karyawan yang layaknya perusahaan travel tentu banyak wanitanya. Salah satu karyawanku itu sebutlah namanya Esther, adalah tangan kananku dalam menjalankan roda perusahaan ini. Dia cukup berpengalaman di bidang marketing dan operasional. Orangnya cantik, putih, berumur sekitar 28 tahun. Pertama aku meng-interview dia kujabat tangannya, "Selamat siang, perkenalkan nama saya Pram, Pramono."
Dia pun menyebutkan namanya, "Esther.." dengan nada suaranya yang agak serak, yang bagiku terdengar seksi.
"Boleh saya lihat CV anda?" tanyaku.
"Silakan Pak," sahutnya.
Aku pun mulai bertanya seperti layaknya pimpinan perusahaan yang sedang meng-interview calon karyawannya.
"Sepertinya anda cukup pengalaman di bidang travel, sudah berkeluarga?" tanyaku penuh selidik.
"Sudah Pak," jawabnya singkat.
Lalu ditambahkan, "Saya sudah berputra satu."
"Ooo.. Oke anda diterima, kapan anda mulai bergabung dengan kami?" tanyaku lagi.
"Mungkin minggu depan, bagaimana Pak?" jawabnya, sambil memainkan matanya yang indah.
"Hmm.. boleh, selamat ya.." kataku sambil menjabat tangannya.
Begitulah, Esther sejak itu menjadi karyawanku, dimana sewaktu marketing aku selalu mengajak dia. Dia pun kelihatan senang kalau aku mengajaknya keluar.
Dari seringnya kami keluar bersama entah kenapa dia sering memancing omongan kearah yang lebih pribadi. Sampai akhirnya pada suatu saat aku terkejut begitu mengetahui dia ternyata sudah bercerai dengan suaminya. "Hah?! pantas aku nggak pernah melihat suami kamu.." aku hanya bisa geleng-geleng kepala. "Yah, beginilah kehidupan saya Pak, saya janda dengan anak satu, maafkan saya Pak, selama ini saya berbohong pada Bapak." Esther menyahut dengan tetesan air mata di pipinya. Aku tidak tahan dengan pemandangan itu, lalu kubelai rambutnya, entah setan dari mana aku memeluk dirinya. Ternyata dia pun malah menghamburkan tubuhnya di dadaku, dengan tangisnya yang semakin kencang.
Sejak saat itu aku semakin dekat dengan Esther, tapi tetap aku menjaga hubungan kami itu dari karyawan lain. Dimana kalau kami sedang berdua, dia memanggilku dengan sebutan, "Mas". Tapi kalau ada karyawan lain dia tetap memanggilku, "Pak".
Sampai sebulan kemudian, aku ditemani Esther kerja lembur di kantor. Kurang lebih pukul 8 malam, aku istirahat sambil duduk di sofa yang ada di ruanganku. Saat itu Esther terlihat cantik dengan rok mini dipadu blazer coklatnya. "Mas, ayo cepet pulang, Rian kasian di rumah," rengeknya. Oh ya, Rian itu adalah putra dari suaminya dulu.
"Iya.. ya sebentar aku capek nih," aku menjawab sambil tersenyum, lalu kutarik tangannya agar duduk di sebelahku. Kami pun terlibat obrolan tentang masa lalunya, yang memancing tangisnya pecah lagi.
"Sudahlah, kamu berhak melanjutkan hidup kamu, jangan kamu sia-siakan, kamu masih punya tanggung jawab terutama dengan Rian, iya kan?" hiburku sambil memeluknya.
Perlahan kucium rambutnya yang harum itu, kukecup bibirnya. Esther pun membalas disertai air matanya yang masih menetes di pipinya. Entah kenapa aku semakin berani dengan mengecup lehernya, Esther pun hanya merintih kegelian, tapi dibiarkan saja aku terus menjelajahi seantero lehernya.
Tadinya aku berpikir, sudah sekian lama dia tidak mendapatkan sentuhan laki-laki masak sih dia tidak ada keinginan untuk itu? Sambil deg-degan tanganku mencoba meraih kancing blazernya. Yess! Ternyata dia hanya merintih, "Ouhh.. Mass.." malah tangannya meraba pahaku. Mendapat respon seperti itu aku menjadi kegirangan, satu-satu kubuka kancing blazernya, dan kulihat blouse dalamnya yang ternyata berwarna kuning juga, tapi sangat transparan, sehingga terlihat BH yang berwarna hitam itu menerawang di balik blouse-nya.
Kulihat matanya meredup seolah mengharap aku bertindak lebih jauh. "Iya sayang aku tau, kamu sudah lama kan tidak pernah mendapat sensasi seperti ini?" aku berkata dalam hati. Pelan-pelan kancing blouse itu kubuka, tidak sampai satu menit terbuka semua kancing itu. Entah pura-pura atau apa Esther tiba-tiba menutup blouse yang sudah terlanjur terbuka itu.
"Kenapa?" tanyaku keheranan.
"Hmm.. malu, malu Mas.." jawabnya.
"Aku tau sayang, kamu sebenarnya menginginkannya kan?" tanyaku yakin.
Dia cuma diam, dan tanpa menunggu jawaban dari Esther, perlahan kusingkirkan tangannya dari dua bukit kembar yang masih tertutup kain segitiga hitamnya. Sambil kembali aku melumat bibirnya kutelusupkan jariku di celah BH-nya. Dan, tanpa kesulitan kutemukan tonjolan daging di puncak buah dadanya yang ternyata sudah keras. Karena jari-jariku kejepit BH yang mungkin kesempitan buatnya, kupaksakan keluar buah dadanya yang kanan keluar dari balik BH-nya. Benar juga dugaanku, BH yang kutaksir 34 itu ternyata masih agak kesempitan, karena begitu bukit daging itu menyeruak keluar besarnya kurang lebih sebesar jeruk bali, dengan putingnya yang merah kehitaman.
"Mas dibuka saja, nanti BH-ku rusak," kata Esther tiba-tiba.
Pucuk dicinta ulam pun tiba! gumamku. Karena pengalamanku yang sudah menggauli sekian banyak wanita, kalau hanya membuka BH dengan satu tangan sih mudah saja. Dan, kedua buah dada Esther sekarang terpampang tepat di depan wajahku. "Boleh?" aku bertanya seolah minta ijin darinya. Esther hanya tersenyum, dan dua detik kemudian bibirku sudah menyentuh puting susunya sebelah kanan sedang tangan kananku beroperasi pada yang satunya. Perlahan kumainkan lidahku di tonjolan puting susunya sambil kutarik-tarik dengan bibirku. Sedang tanganku sibuk memilin-milin dan meremas buah dada yang satunya.
Tiba-tiba pecahlah rintihan nafsu keluar dari mulut Esther. "Ouuhh.. Mass.. terus.." Entah sadar atau karena kebiasaan dengan suaminya dulu, Esther mendaratkan tangannya di atas selangkanganku. Dan tanpa diminta dia langsung meremas-remas tonjolan di balik reitsleting celanaku. Kontan daging panjang di balik celanaku itu membengkak. Aku berpikir tidak adil, kalau dia sudah berani memegang kemaluanku, kenapa aku cuma di sekitar dadanya? Aku pun mengarahkan tanganku yang tadi memainkan buah dadanya, ke pahanya.
Entah karena refleks atau apa, Esther pun seperti membuka jalan dengan membuka kedua pahanya. Otomatis rok kuning mini miliknya ikut terkuak. Dari cuma mengelus pahanya, tanganku pun menjalar ke atas sampai menyentuh secarik kain yang menutupi bukit pubis di selangkangannya. Perlahan kuelus bukit kecil itu. "Mass.. Ouughh.." rintihan Esther terdengar semakin keras.
Sementara mulutku masih asyik mengulum dan mengenyot puting Esther, jemariku rasanya tidak betah kalau hanya mengelus secarik celana dalamnya. Kutelusupkan jari-jariku masuk dari pinggir celana dalam Esther yang ternyata berwarna hitam juga. Dan, begitu menyentuh daging di balik celana dalamnya, jari-jariku disambut dengan kehangatan dan kelembaban yang dikeluarkan oleh kemaluannya.
Ada tiga menit aku mengelus bibir kemaluan Esther, perlahan dari bawah ke atas, terus bergantian, sampai tiba-tiba saja dia berdiri dan, "Mas.. ehmm sebentar ya?" ternyata dia melorotkan sendiri celana dalamnya, lalu dibuang begitu saja di lantai. Aku hanya melongo memperhatikan kelakuannya, "Aku takut celanaku basah.." sahutnya malu-malu. Aku pun tersenyum dibuatnya. "Iya nih belum apa-apa sudah lengket tanganku." godaku. Wajah Esther merah sambil mencubit perutku.
"Curang! Mas Pram curang! celana Mas belum dibuka." gerutunya cemberut yang dibuat-buat.
"Ya udah, so mau kamu gimana?" tanyaku pura-pura nggak ngerti.
"Iiihh.. norak! Ayo dong dibuka!" rengeknya manja.
Aku cuma terkekeh dibuatnya, tapi aku pun menuruti kemauannya. Sambil dibantu Esther, celana panjangku akhirnya lepas. Sekarang aku cuma memakai celana dalam.
"Yang ini? Belum!" dia menunjuk ke arah celana dalamku.
"Usaha dong.." jawabku sekenanya. Tapi Esther cuma memandang tonjolan daging panjang yang masih tersimpan rapi di balik celana dalamku. Tangannya kembali menyentuh tonjolan tersebut. Diurut perlahan dari bawah ke atas, dan pada ujungnya dia memainkan jarinya sedemikian rupa sampai aku merem melek dibuatnya, "Hmm.. yahh.. ouffsshh.. pintar kamu Ther.." gantian aku dibuatnya merintih keenakan. Sementara mulut dan bibirnya memagut leherku dengan lembutnya.
Tidak lama kemudian, "Aku buka ya?" tanya Esther.
Aku cuma mengangguk, "Terserah kamu sshh.. mau diemut juga boleh.. oouuhh.." kataku disertai rintihan.
Sedetik kemudian mencuatlah batang kemaluanku dengan gagahnya. Sambil terus mengurut dan meremas-remas kemaluanku, Esther memuji kemaluanku, "Wahh.. pantas..!"
Aku heran, "Apanya yang pantas?"
"Nggak Mas, tapi jangan marah ya? Aku sering membayangkan itunya Mas Pram kalau lagi tegang, soalnya sering kalau ininya Mas Pram lagi tegang aku nggak sengaja ngeliat.." katanya sambil meremas agak kuat kemaluanku.
"Kan nggak kelihatan?" tanyaku heran.
"Iya! Tapi kelihatan kok kalau punya Mas Pram gedee.. banget! Menuh-menuhin bungkusnya. Tuh liat tuh sampe tanganku aja nggak muat megangnya." Sahutnya penuh nafsu yang tertahan.
"Apa lagi kalau.. kalau.. mm.." omongannya terputus.
"Apa..?" tanyaku penasaran.
"Nggak, apa lagi kalau.. masuk ke sini.." sambil tangannya menunjuk ke arah liang kemaluannya sendiri.
"Ke mana Sayang? hmm? ke sini?" sahutku sambil tanganku menyingkap roknya dan kembali meraba bukit kemaluan Esther yang tercukur rapi itu.
"Ssstt.. ouhh.. yahh.. oufsshh.." kembali dia merintih pelan.
"Kuemut ya Sayang?" tanpa menunggu jawaban dariku, Esther langsung membuka lebar mulutnya dan, "Ouuhh.. Godd!" aku merintih nikmat karena kepala kemaluanku sudah dalam jepitan bibir Esther yang terlihat seksi itu.
Sementara lidah Esther memainkan kepala kemaluanku, aku sibuk dengan jariku memainkan bagian puncak dari lubang kemaluannya, yang di situ bertengger daging kecil klitorisnya yang sudah amat tegang. Esther begitu mahir dengan permainan mulutnya yang naik turun yang mengeluar-masukkan batang kemaluanku di mulutnya. Aku terbuai dihempas badai kenikmatan dengan hisapan dan emutan Esther di seluruh kemaluanku. Sambil mataku tertutup, aku membayangkan, yahh.. pantas saja dia janda, tentu pintar membuat pasangannya kelonjotan begini! Tapi aku pun saat itu juga berpikir, aku pun juga piawai kalau hanya membuat wanita kelojotan.
Setelah 10 menit berlalu, kuangkat kepala Esther dan otomatis batang kemaluanku tercabut dari keganasan permainan mulut dan bibirnya. Kulihat batang kemaluanku basah oleh air liur Esther.
"Ada apa Mas? nggak enak ya?" tanyanya khawatir.
Aku tersenyum, "Nggak.. enak kok, tapi pengen gantian aja," jawabku singkat.
Esther masih keheranan dengan sikapku, lalu dia kusuruh merebahkan tubuhnya di sofa merah di ruanganku itu.
"Mau ngapain Mas.." tanya Esther belum hilang keheranannya, tapi dia mau menuruti kehendakku dengan merebahkan tubuhnya di sofa.
Aku cuma tersenyum lalu, "Coba deh ya?" jawabku.
Aku mulai mengecup lututnya yang terjuntai ke lantai, sementara rok mininya kutarik ke atas, hingga terpampanglah selangkangan Esther yang polos dan sangat menggairahkan itu. Perlahan kutelusuri paha kanannya dari lutut bagian luar kemudian masuk ke arah belakang lututnya terus merangkak naik. Lantas paha yang satunya pun tidak luput dari kecupan bibir dan jilatan lidahku, perlahan naik ke arah bukit kemaluannya disertai erangan dan rintihannya yang terputus-putus.
Seperti tersadar akan apa yang akan kulakukan, dia berujar, "Mas, ehh.. Mas.. jangan!" sambil kedua telapak tangannya menutupi selangkangannya dan kedua pahanya dirapatkan.
"Kenapa Sayang..?" tanyaku.
Dia bangkit, "Jangan Mas.. soalnya kan.." dia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa.." aku menunggu jawabannya.
"Soalnya.. Soalnya punyaku bau.." jawabnya malu-malu.
"Masa sih? Mana sini aku cobain, bau apa nggak!" kataku sambil berusaha merebahkan tubuhnya kembali di sofa.
Kembali Esther menuruti kehendakku merebahkan tubuhnya di sofa, tapi selangkangannya masih tertutup rapat dan tangannya masih menelungkupi bagian kemaluannya. Kembali lidah dan bibirku menelusuri bagian atas pahanya, sampai akhirnya bibirku menyentuh tangannya yang tetap tidak mau minggir itu.
"Mas.. ouhh Mas.. jangan Mas.. punyaku bau Sayang.. jangan dong.. ouh sshh.. aku malu.." katanya sambil terus diiringi rintihannya.
"Hmm.." Aku cuma bergumam sambil terus menciumi tangannya. Perlahan namun pasti, akhirnya kedua telapak tangan Esther mau juga minggir dan berganti mengelus-elus pipiku. Sementara kedua pahanya masih tertutup rapat seolah belum mau memberi kesempatan pada lidahku untuk mencicipi lubang surga yang dimiliki Esther ini. Kusapu terus dengan lidahku daerah lipatan pubis Esther yang ditumbuhi bulu-bulu tercukur rapi itu. Mulai tercium aroma kemaluan wanita yang khas yang biasanya merebak jika wanita semacam Esther ini didera nafsu birahi yang hebat. Aku sangat yakin lubang kemaluan Esther ini pasti paling tidak sudah mengeluarkan beberapa tetes cairan pelumas.
Entah sadar atau tidak atau memang Esther sudah amat menginginkannya, dengan sedikit tenaga dari tanganku akhirnya perlahan terbuka juga kedua pahanya yang sudah 10 menit tertutup rapat. Dan semakin menyeruaklah bau harum yang khas yang dikeluarkan dan ditebarkan oleh cairan yang keluar dari lubang itu.
Kedua paha Esther belum terbuka maksimal, jadi bentuk kemaluannya masih terlihat garis lurus dengan bibir labia mayora di lubang kemaluannya masih menutupi misteri yang ada di situ. Sedikit demi sedikit kuresapi kebasahan yang melekat di bibir kemaluan Esther. Oh Tuhan, akhirnya aku bisa menikmati kemaluan Esther yang sudah sekian lama kuimpikan. Semakin lebar tanpa sadar Esther membuka pahanya, perlahan semakin terkuaklah bibir luar kemaluan Esther memperlihatkan lubang yang mulai menganga yang di atas pucuk kemaluan itu ada secuil daging kecil bertengger dengan indahnya seolah bergetar tak sabar menunggu keliaran dari lidah dan mulutku.
Dan, "Ouhh.. Mas.. God! Yahh..! esstthh.." dari mulut Esther pecah rintihan keras begitu lidahku menjelajahi bagian dalam lubang kemaluannya, terus kusentil klitoris yang sedari tadi mengharapkannya. Setiap milimeter apa yang ada di liang kemaluan Esther tidak ada yang terlewati, kujilat dan terus kujilati.
Sekarang jemari di tangan Esther hanya bisa mengelus rambutku. Esther tambah kelonjotan saat lidahku menerobos masuk ke dalam lubang kemaluannya dan menjilati tonjolan-tonjolan daging yang ada di dalam sana. Lalu kembali lidahku menjilati bibir bagian dalam kemaluannya terus ke atas sampai menyentuh klitorisnya. Ada 5 menit aku memainkan klitorisnya. Sementara erangan Esther makin keras dan tubuhnya semakin bergetar hebat. Aku pun mengimbanginya dengan mulai menggigit-gigit kecil bibir kemaluannya dengan bibir dan gigiku. "Mass.. kamu hebat Sayang.. ouuhh yess.. Godd.. terus.. ouuff.. Mas Pram.. sshh.. yaahh.. teruss Sayang.."
Kembali ke arah daging kecil itilnya, bibirku mulai menghisap klitoris Esther di dalam mulutku, sambil diemut-emut seperti layaknya ngemut permen. Klitoris yang ada di dalam mulutku itu kuemut dengan lembut sementara lidahku memainkannya di dalam. "Yahh.. teruss.. hisap itilku.. Ouuff ssh.. yang kuat Mass.. terus.. yahh begitu.. oouuhh Mas.. Mas Pramm.. aku belum pernah seenak ini Mass.. Aduuhh.. pintar banget sih Mass.. Godd.." rintihan Esther seperti memberi semangat buatku untuk terus menjilati dan menghisap itilnya lebih kuat.
Tubuh Esther berkelonjotan ke sana ke mari, sementara jari-jarinya menjambak rambutku, dan di sela-sela lidahku yang makin ganas dan liar menghisap dan mengemut klitorisnya, tiba-tiba, "Sruutt.. srutt.. gleekk.. sruutt.. sruutt.." entah dari mana datangnya tiba-tiba mulutku dibanjiri cairan yang begitu banyaknya sampai aku kewalahan untuk menghindarinya karena Esther sekarang bukan lagi menarik-narik rambutku, tapi malah berusaha membenamkan wajahku di lubang kemaluannya dengan menekan kuat kepalaku pada selangkangannya, sementara kedua pahanya menjepit kuat kepalaku. "Teruss.. Sayang.. aduhh.. yahh.. dikit lagi.. oouuhh Godd.. esshh.. sedikit lagi Mass.. aduuhh nikmat sekali.. esstt.. ouuff.."
"Sreett.. srr.. seerrtt.. glekk serr.. gllekk.." mau tidak mau cairan yang disemburkan dari lubang kemaluan Esther itu kutelan, karena memang kepalaku oleh Esther dibenamkan di liang kemaluannya serta dijepit dengan kuat oleh kedua pahanya. Entah sudah berapa kali Esther menyemburkan cairan kenikmatan yang keluar membanjir masuk ke dalam mulutku. Dan entah berapa kali aku menelannya. Karena setiap kuhisap klitorisnya, saat itu pula cairan itu menyembur kuat masuk ke dalam mulutku terus masuk ke dalam kerongkonganku yang berarti otomatis tertelan olehku.
Tapi entah kenapa aku begitu menyukai rasa cairan yang dikeluarkan oleh lubang kemaluan Esther ini, jadi aku malah tambah bernafsu untuk menghisap habis cairan yang terus membanjiri di dalam mulutku. Aroma cairan yang keluar dari kemaluan Esther ini sungguh beda dari wanita yang pernah kucicipi. Rasa dan aromanya begitu harum, gurih dan rasanya tidak ada rasa dan aroma cairan di dunia ini yang seenak dan segurih yang dimiliki Esther ini. Mungkin setelah sekitar 10 kali semburan, cairan itu tidak terlalu kuat lagi menyembur, hanya berupa tetesan saja.
Sementara itu Esther pun sedang menikmati multi orgasmenya yang panjang dengan rintihan dan erangan yang tidak putus-putusnya. Sampai 3 menit kemudian, dia pun mengendorkan jepitan pahanya di kepalaku dan melepaskan cengkeraman tangannya juga di kepalaku. Aku yang tadi sulit bernafas, sekarang bisa mengambil nafas lega, dan kupandangi lubang kemaluan Esther yang terlihat merah dan sangat basah, di situ masih terlihat tetesan cairan yang tadi begitu derasnya menyerbu mulutku. Kulihat juga sofa di bawah selangkangan Esther basah ternoda oleh sisa cairan yang masih terus menetes. Kupikir ketimbang mengotori sofaku, kutampung sisa cairan yang masih menetes itu dengan kembali menjilati lubang kemaluan Esther. Kontan Esther merengek, "Mass.. udah Sayang.. aduuhh.. Gelii.. oouuhh.. ouuff.. sstt.. Geli Sayang.. udah dong.. aduh enak Mas.. aduhh.. aku nafsu lagi nih.."
Kemudian dia menarik tubuhku dan langsung mencium bibirku dengan ganasnya, padahal di mulutku masih banyak sisa cairannya sendiri. Aku pun berusaha menolaknya, seperti mengetahui pikiranku, Esther menimpali, "Hmm.. enak juga cairanku ya Mas? Gurih ya?" dia terlihat mengecapkan mulutnya seperti mencicipi masakan yang luar biasa lezatnya. Aku pun menjawab, "Esther, betul-betul deh cairan kamu ini bener-bener luar biasa enaknya. Kayaknya nggak ada deh di dunia ini yang bisa menandingi kelezatan dan kegurihan yang dikeluarkan kemaluan kamu.." aku setengah merayu. Dia cuma memelukku manja, namun beberapa saat kemudian kulihat dari kedua mata Esther keluar air, (air mata?) "Aduuh Mas Pram, aku belum pernah mengalami sensasi yang barusan kamu berikan padaku, aku nggak mau pisah Mas.. jangan tinggalkan aku ya? Pleasee.. kawini aku, Mas.." dia berkata sambil sesunggukan berurai air mata, dan tangannya menyeka mulutku dengan tissue dari kebasahan yang tadi membanjiri mulutku.
Kulihat jam sudah pukul 9:30 malam, "Ayo sayang kita pulang, kasihan Rian menunggu kamu di rumah." bisikku.Lalu kami pun merapikan pakaian dan pulang menuju rumah Ester. Sejak saat itu Esther menjadi Sephiaku dan kami pun sering mengulangi kejadian tersebut hingga akhirnya kami berpisah karena Esther telah dinikahi oleh orang lain. Begitulah nasib manusia, jodoh benar-benar berada di Tangan yang Kuasa.
TAMAT
Best online casinos that offer baccarat, slots, live dealer games
BalasHapusPlay blackjack, poker, roulette and more with FEBCASINO casino! Our 제왕 카지노 casino team only recommends that you only play septcasino in the best febcasino online casinos in